REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perguruan tinggi (PT) yang termasuk pada kategori PT kecil dan kurang sehat terus didorong untuk melakukan merger atau penggabungan. Namun, ternyata upaya merger tidak mudah dilakukan di Indonesia.
Menurut Rektor Telkom Univercity, Prof Mochamad Ashari merger seringkali terkendala karena adanya perbedaan visi-misi ataupun persoalan manajemen lain dari satu perguruan tinggi dengan PT lainnya.
"Satu perguruan tinggi dan perguruan tinggi lain kalau merger berarti ada penyatuan visi dan aset, itu yang biasanya tidak mudah dilakukan," kata Ashari kepada Republika, Rabu (29/8).
(Baca: Perguruan Tinggi Kecil Perlu Pembinaan)
Berbeda halnya dengan penggabungan perguruan tinggi yang dinaungi yayasan yang sama, dia menilai, merger cenderung mudah dilakukan. Meskipun pada awalnya pasti ada pro-kontra dari berbagai pihak, utamanya mahasiswa.
Dia mengumpamakan, Telkom Univercity merupakan salah satu universitas yang dimerger dari empat kampus. Yaitu STT Telkom, Politeknik Telkom, Insitut Teknologi Telkom dan Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia Telkom (STISI Telkom).
"Ada empat kultur budaya yang beda dari kampus itu dan memang sulit diawal-awal. Tapi ya dengan tujuan untuk memanusiakan manusia dan kemauan seluruh pihak untuk berubah jadilah Telkom University yang semakin kuat," ungkap dia.
Dia mengungkapkan, salah satu strategi agar perguruan tinggi semakin maju setelah dimerger yaitu dengan membudayakan penelitian dan publikasi. Budaya penelitian, kata dia, bisa semakin menyatukan visi dari perguruan tinggi yang telah dimerger.
"Pertempuran gengsi lama-lama dari PT yang dimerger itu hilang, dan berubah jadi perjuangan positif," kata dia.