REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Asep Saifuddin menilai, kultur meneliti di Indonesia masih lemah. Sebab menurut dia, kebiasaan menulis atau meneliti tidak dibiasakan sejak dini sehingga kultur riset tidak terbangun.
"Kebiasaan riset harus dipupuk sejak SD. Kita terlalu ingin serba instant. Padahal dalam riset itu tidak ada yang bersifat instant," kata Asep saat dihubungi Republika.co.id, Senin (1/10).
Akibatnya, lanjut Asep, kebiasaan berpikir mendalam, rasional dan objektif seseorang juga menjadi lemah. Padahal basis riset itu peneliti harus mempunyai pikiran yang rasional, obyektif dan mendalam.
Karena itu banyak hasil riset yang tidak bermanfaat bagi masyarakat ataupun industri. Sebab hasil-hasil riset peneliti Indonesia, kata dia, jarang diteruskan menjadi produk bisnis yang terus berputar.
"Siklusnya masih banyak yang begitu, tidak dapat diteruskan dan dimanfaatkan. Alhasil riset berhenti di laporan," kata dia.
Di perguruan tinggi, terang Asep, semua dosen wajib melakukan riset. Karena merupakan bagian dari tridarma, yakni pengajaran, riset dan pengabdian pada masyarakat.
Misalnya dosen untuk naik pangkat akademik itu wajib memperlihatkan bukti risetnya dalam bentuk paper-paper yang dimuat di jurnal nasional terakreditasi dan internasional terindeks. Namun riset-riset yang dihasilkan di perguruan tinggi itupun nyatanya banyak juga yang dibuat sekadar saja.
"Ini lah persoalan riset di Indonesia, karena proses dan tujuan serba instant jadi riset kita tidak berkembang biak," kata dia.
Karena itu menurut dia, pemerintah, industri dan pendidikan tinggi perlu lebih mengintensifkan sinergitas terkait riset. Sehingga diharapkan, riset yang dihasilkan para peneliti bisa benar-benar efektif dan bermanfaat bagi masyarakat ataupun industri.
Baca juga: Media Asing Soroti Kisah Heroik Anthonius Gunawan
Baca juga: Warga Sekitar Pesantren Al-Khairaat Masih Takut Masuki Rumah