REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ubi cilembu dikenal sebagai panganan khas Jawa Barat. Memiliki rasa yang manis, ubi jalar ini konon hanya tumbuh dengan baik jika ditanaman di perkebunan yang berasal dari Desa Cilembu, Sumedang, Jawa Barat.
Keunikan ubi cilembu menarik perhatian mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) Agustina Monalisa Tangapo. Lewat disertasi yang berjudul "Dinamika Populasi Bakteri Rhizosfer dan Endofit pada Budidaya Ubi Jalar Cilembu (Ipomoea batatas var. Cilembu) dan Peranannya Selama Proses Penyimpanan Pascapanen", Agustina berhasil meraih gelar doktor pada Program Studi Doktoral Biologi di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB.
"Berdasarkan observasi dan fenomena yang ada, ubi cilembu jika ditanam di tempat yang berbeda di luar Desa Cilembu, hasil kualitasnya berbeda khususnya dalam kualitas rasa manis. Kita ingin meneliti dari aspek mikrobiologi, jadi saya meneliti mikroba khususnya bakteri rizosfer dan endofit yang mengasumsikan spesifik dengan lokasi d imana ubi cilembu itu berasal," katanya seperti dalam siaran pers ITB, Jumat (19/10).
Dia mengatakan, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ubi cilembu ketika ditanam di luar lokasi Desa Cilembu kelimpahan dan keanekaragaman bakterinya berbeda. Bakteri itu salah satu yang bisa berpengaruh terhadap rasa manis. Selain itu faktor tanah juga bisa mempengaruhi.
Melalui penelitiannya itu diharapkan dapat bermanfaat bagi petani yang ingin membudidayakan ubi cilembu di luar Desa Cilembu. Misalnya dengan menghasilkan produk pupuk hayati yang berisi mikroba yang sama seperti membudidayakan Ubi Cilembu di tempat asalnya.
"Harapan ke depan, pendekatan yang saya lakukan ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk ekstensifikasi budidaya ubi jalar Cilembu di luar desa asalnya, dengan tetap menghasilkan rasa manis yang sama ketika di tanam di tempat yang berbeda," ujarnya.
Ubi jalar seperti ubi cilembu, termasuk alternatif sumber karbohidrat setelah padi, jagung, dan ubi kayu (singkong). Nilai ekonominya sangat tinggi. Sehingga ke depannya dapat menjadi alternatif ketika ingin melakukan diversifikasi pangan.
Selama melakukan penelitian dan kuliah S3 di ITB, tantangan terbesar Agustina adalah keluarga. Ia harus berpisah untuk sementara dengan dua anak dan suaminya yang berada di Manado, Sulawesi Utara. Namun tantangan itu bukan menjadi hambatan, malah menjadi pemacu semangat untuk segera menyelesaikan S3-nya. Keluarga pun mendukung langkahnya itu.
"Di dalam kehidupan tidak ada tombol undo untuk balik lagi. Jadi kita harus bergerak, hadapi saja. Memang tidak semudah seperti saat ini saya ngomong tapi karena faktor dukungan keluarga dan doa keluarga, membuat saya setiap saat harus ada yang dikerjakan, harus datang ke kampus, intinya harus terus bergerak," katanya.
Ia berpesan, melalui Wisuda Pertama Tahun Akademik 2018/2019 ini, merupakan sebuah momentum awal dalam kehidupan menuju tantangan selanjutnya. "Wisuda bukan akhir tapi awal dari apapun yang akan kita hadapi di depan. Berdoa dan syukuri terhadap apa yang didapat. Buat mahasiswa, bukan berarti kita diwisuda sekarang lebih dari kalian, kita semua punya giliran masing-masing. Intinya tetap kerjakan yang menjadi bagian kita, hasilnya itu di luar kapasitas kita," kata dia.