REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Sebuah penelitian tentang radikalisme telah selesai dilakukan dua staf pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah. Hasilnya,bahwa radikalisme beragama dalam sudut pandang para rektor adalah gerakan paham yang harus dicegah sedini mungkin.
Penelitian dilakukan M Sirozi yang kini menjabat Rektor UIN Raden Fatah dan staf pengajar Fisip Yenrizal. Hasil penelitian tersebut berjudul “Strategi Kebijakan Deradikalisasi Beragama di Kalangan Mahasiswa Persepektif Rektor UIN di Indonesia,” Jumat (26/10) diseminarkan di kampus UIN Raden Fatah dengan pembahas guru besar UIN Jambi Suaidi Asyari dan Ardiyan Saptawan staf pengajar Fisip Universitas Sriwijaya (Unsri).
Menurut peneliti Sirozi, dari hasil penelitian dengan sampel Rektor UIN menarik kesimpulan bahwa radikalisme beragama dalam sudut pandang para rektor adalah gerakan paham yang harus dicegah sedini mungkin. “Kemunculan radikalisme di kalangan mahasiswa adalah fenomena yang perlu diwaspadai dan diperhatikan bersama. Semua hal itu tidak berdiri sendiri, tapi terkadang saling berkaitan erat,” katanya.
Menurut Yenrizal, penelitian dilakukan dengan latar belakang, dari data Badan Intelejen Negara (BIN) 39 persen mahasiswa terpapar radikalisme dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan paham radikal sudah masuk kampus.
“Kemudian penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah menemukan 52,1 persen mahasiswa beropini intoleran terhadap minoritas muslim, 34,3 persen intoleran terhadap agama lain, dan 58,5 persen punya opini radikalisme. Radikalisme sudah dalam taraf mengkhawatirkan dan menurut Komarudin Hidayat UIN tidak imun terhadap radikalisme,” ujarnya.
Penelitian yang dilakukan pada lima UIN yaitu UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga, UIN Antasari, UIN Alauddin dan UIN Sultan Syarif Qasim tersebut juga menyimpulkan kebijakan yang selama ini diterapkan rektor dalam rangka deradikalisasi paham keagamaan dengan menekankan pada aspek preventif.
“Ini dengan asumsi bahwa radikalisme itu sampai sekarang belum muncul di kampus, karena itu upaya preventif harus senatiasa dilakukan,” katanya.
Kesimpulan lainnya, muncul kebijakan-kebijakan yang dibuat para rektor, pada dasarnya bukan kebijakan yang berangkat dari masalah riil radikalisme. “Tetapi para rektor meyakini bahwa kebijakan yang dibuat akan berpengaruh tidak langsung terhadap fenomena kemunculan sikap radikalisme nantinya,” kata Yenrizal.
Penelitian tersebut juga merekomendasikan penguatan kurikulum yang mengarah pada isu-isu update dan outcome yang ingin dicapai mahasiswa. “Kami juga merekomendasikan memfasilitasi dan mendorong dilaksanakan dialog-dialog terbuka antar mahasiswa dan kalangan intelektual lainnya tentang isu-isu kontemporer secara rutin,” kata Sirozi.