REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir menyebutkan ratusan mahasiswa yang diduga menjadi korban kerja paksa di Taiwan adalah korban penipuan. "Mahasiswa kerja paksa yang terjadi di Taiwan itu, saya lagi komunikasi mulai kemarin. Mereka mahasiswa yang tidak melalui jalur Kemenristek Dikti," katanya di Semarang, Kamis (3/1).
Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Semarang itu usai membuka Rapat Kerja Nasional Kemenristek Dikti 2019. Nasir menjelaskan para mahasiswa itu berangkat sendiri ke Taiwan melalui calo dengan iming-iming bisa diterima di perguruan tinggi di negara tersebut, tetapi ternyata tidak diterima.
"Akhirnya, dia bekerja di perusahaan. Akhirnya penipuan kan itu. Ini bukan kewenangan Kemenristek Dikti. Namun, kasus ini jadi rujukan, ini urusan tenaga kerja," katanya.
Menurut dia, para mahasiswa tersebut tidak berangkat secara resmi dari kampus di Indonesia, melainkan lulusan-lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berangkat dari agensi-agensi. "Mereka ini tidak ada yang dari kampus. Mereka lulusan sekolah, kemudian di agensi-agensi itu. Ini saya lagi lacak. Kalau ada kampus yang terjadi semacam itu," katanya.
Kemenristekdikti terus berkoordinasi dengan Taipei Economic and Trade Office (TETO), yakni kamar dagang dan industri Taiwan, baik yang ada di Taiwan maupun Jakarta. Dari jajaran duta besar, kata dia, juga diminta untuk melakukan pendataan terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang sedang menempuh studi lanjut di luar negeri, termasuk Taiwan.
Selain itu, Nasir mengimbau pelajar ataupun mahasiswa yang akan studi lanjut ke perguruan tinggi di luar negeri untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Kemenristek Dikti.
Sebelumnya, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menyebut sekitar 300 mahasiswa Indonesia menjadi korban kerja paksa yang diduga dilakukan oknum yayasan, lembaga pendidikan, hingga individu. Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Ismunandar, mengatakan ratusan mahasiswa itu dijebak oknum pelaksana program dengan iming-iming akan memperoleh beasiswa kuliah di Taiwan.
Para mahasiswa yang mayoritas perempuan itu, mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, di antaranya dipaksa bekerja 10 jam dalam sehari dengan bayaran yang murah. Padahal, pemerintah Taiwan memiliki aturan bahwa mahasiswa yang kuliah pada tahun pertama tidak mendapat izin bekerja.
Menurut aturan resmi pemerintah Taiwan, izin bekerja itu didapatkan setelah melalui tahun pertama, hal itu pun tidak lebih dari 20 jam per minggu. Satu laporan jurnalistik di salah satu media di Taiwan menyebut setidaknya enam perguruan tinggi yang bekerja sama dengan agen penyalur tenaga kerja.
Perguruan tinggi itu mengirimkan mahasiswanya untuk menjadi tenaga kerja murah di pabrik-pabrik itu. Salah satu perguruan tinggi mempekerjakan mahasiswanya di sebuah pabrik lensa kontak, di mana mahasiswa tersebut dipaksa berdiri selama 10 jam untuk mengemas 30 ribu lensa kontak setiap hari.
Sementara itu, jadwal perkuliahan yang dijalani mahasiswa tersebut hanya dua hari dalam satu pekan, sisanya mereka harus bekerja di pabrik-pabrik itu.