Ahad 24 Feb 2019 05:47 WIB

IAIN Bukittinggi Bantah Pecat Dosen Hayati karena Cadar

Pihak IAIN Bukittinggi menyebut alasan pemecatan kerena Hayati kerap membolos.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Andri Saubani
Dr Hayati Syafri, dosen IAIN Bukittinggi yang nonaktif mengajar lantaran keputusannya bercadar, hadir dalam musyawarah akbar ormas Islam, Ahad (25/3). Pertemuan tersebut membahas upaya dialog dengan IAIN Bukittinggi terkait pembatasan cadar di kampus.
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Dr Hayati Syafri, dosen IAIN Bukittinggi yang nonaktif mengajar lantaran keputusannya bercadar, hadir dalam musyawarah akbar ormas Islam, Ahad (25/3). Pertemuan tersebut membahas upaya dialog dengan IAIN Bukittinggi terkait pembatasan cadar di kampus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukit Tinggi, Sumatra Barat, membantah telah melakukan pemecatan terhadap dosen bernama Hayati Syafri karena persoalan cadar. Pemecatan tersebut dilakukan murni karena Hayati kerap bolos melebihi batas yang ditetapkan pemerintah.

Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukit Tinggi, Syahrul Wirda, mengatakan, isu terkait pemecatan Hayati karena bertahan menggunakan cadar tidak benar. Pihak kampus, kata dia, tidak pernah mengintervensi persoalan pakaian kepada setiap civitas akademika. Selama, pakaian yang digunakan pantas untuk digunakan di lingkungan kampus.

Baca Juga

“Dia sudah diaudit oleh Itjen Kemenag. Ini murni karena melanggar aturan disipilin. Tercatat Hayati sudah 67 hari tidak masuk kerja secara kumulatif. Batas maksimal 46 hari,” kata Syahrul saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (23/2) malam.

Regulasi terkait batas maksimal tidak masuk kerja itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, Pasal 3, ayat 11 dan 17. Ia pun menegaskan, IAIN Bukti Tinggi memiliki standar kode etik dalam menetapkan sanksi kepada dosen maupun mahasiswa. Pihak kampus, kata dia, juga tidak pernah mempermasalah Hayati yang menggunakan cadar dalam kegiatan belajar mengajar.

Terkait pelanggaran berupa tidak masuk kerja, Syahrul mengklaim, pihaknya sudah memberikan teguran berkali-kali. Hanya saja, tidak diindahkan oleh Hayati. Padahal, kata Syahrul, Hayati yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) terikat terhadap segala aturan kerja yang ditetapkan pemerintah pusat.

Syahrul mengakui, saat ini dosen Hayati memang tengah menjalani pendidikan S3 di Universitas Negeri Padang. Izin yang diberikan kampus merupakan izin belajar, bukan tugas belajar. Karena itu, sesuai perjanjian, meskipun Hayati tengah menjalani pendidikan doktor, ia tetap harus menjalani aturan ASN.

“Hayati tidak akan dituntut tugas pekerjaan dan tetap dibayar gajinya sampai selesai kuliah jika izin yang diberikan adalah tugas belajar. Ini izin yang kita berikan adalah izin belajar,” kata dia.

Lebih lanjut, kata Syahrul, izin belajar kepada seorang dosen akan diberikan jika jarak antara universitas tempat bekerja dan belajar sekitar 60-70 kilometer. Adapun jarak antara IAIN Bukit Tinggi dan UNP masih di kisaran itu sehingga Hayati diperbolehkan mengajar sembari kuliah.

Hayati menyatakan tidak mau buru-buru mengajukan banding atas putusan pemecatan terhadap dirinya karena belajar dari banyak kasus sebelumnya. Ia melihat kasus serupa selama ini tidak berpihak kepada yang mengajukan banding.

Hayati dalam hal ini merasa sebagai pihak minoritas. Ia merasa terdiskriminasi oleh pihak kampus dan Kemenag karena sikapnya yang teguh memegang prinsip tidak akan melepas cadar saat mengajar.

Dari keputusan pemecatan dari Kemenag ini saja Hayati merasa janggal. Hayati merasa tim Inspektorat Jenderal Kemenag berusaha mencari-cari kesalahannya. Kemenag memecat Hayati karena dianggap melalaikan tugas dan tanggung jawab sebagai dosen. Padahal awal mula dirinya mendapat perlakuan tidak adil lantaran dirinya yang menggunakan cadar.

"Dari kasus cadar, dicari-cari kesalahan lain dan akhirnya dengan kasus ini saya diberhentikan. Saya masih memikirkan banding karena minoritas akhirnya kalah juga. Karena data bisa dimanipulasi pihak kampus," ujar Hayati.

Hayati juga merasa aneh dirinya diberhentikan karena ketidakhadiran di kampus saat izin menyelesaikan S3. Padahal hal seperti itu, kata dia, sangat lumrah di lingkungan akademik.

Hayati melihat selama ini ada banyak pimpinan di kampus yang izin kuliah di kota yang lebih jauh di mana mereka selain ada tanggung jawab sebagai pejabat kampus juga punya tanggung jawab sebagai dosen. Yang seperti itu, kata Hayati, malah tidak dikasuskan seperti dirinya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement