REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Diplomat Senior, Prof Dr Eddy Pratomo bakal dikukuhkan sebagai Guru Besar Dosen Tidak Tetap bidang Hukum Internasional oleh Universitas Diponegoro (Undip), Sabtu (9/3). Dalam pengukuhannya, Mantan Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman (tahun 2009- 2013) ini akan menyampaikan orasi ilmiah berjudul ‘Negosiasi Penetapan Batas Laut Dalam Kerangka Diplomasi Berkelanjutan’.
Hal ini terungkap dalam jumpa pers pengukuhan Prof Dr Eddy Pratomo sebagai Guru Besar Undip bidang Hukum Internasional, yang dilaksanakan di kampus Undip Tembalang, Kota Semarang, Jumat (8/3).
Secara ringkas, Eddy Pratomo mengungkapkan, orasi ilmiah atau yang disebutnya sebagai Pratomo Formula 5.10 menekankan tantangan ke depan dalam negosiasi penetapan batas wilayah di laut yang semakin kompleks. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk menyiapkan generasi juru runding yang handal, memahami hukum laut, hukum internasional, dan memiliki pengetahuan legal-technical yang benar dan lengkap.
“Khususnya mengenai sejarah tentang Indonesia sebagai negara Kepulauan serta the United Convention on the Law of the Sea,” ungkapnya, kepada wartawan.
Terkait hal ini, Eddy mengusulkan sebuah formula baru sebagai rujukan oleh Pemerintah dan Akademisi yang bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dan bekal bagi para tim perunding di masa yang akan datang.
Pratomo Formula terdiri dari Lima Prinsip Dasar dan 10 Pedoman Aksi, terkait dengan urgensi bagi Indonesia untuk memberikan perhatian penuh terhadap negosiasi batas laut serta kompleksitas masalah dan tantangan yang dihadapi dalam negosiasi batas laut tersebut.
“Pemikiran ini didasarkan pada pengalaman panjangnya sebagai negosiator batas laut dan rekomendasinya terhadap tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia sebagai bangsa maritim, negara kepulauan terbesar di dunia,” katanya.
Eddy juga menjelaskan bahwa Negosiasi Batas Laut adalah suatu proses penyampaian adu argumentasi tentang usulan garis batas laut yang berbeda dari para pihak, dengan tujuan semata untuk mencapai suatu kesepakatan garis batas wilayah laut. Proses Negosiasi ini memerlukan waktu yang panjang (long haul process) dan kompleks, bersifat multi-disiplin, multi-sektor dan multi-faktor.
“Para negara yang berunding batas laut memilih Negosiasi sebagai opsi terbaik dalam suatu proses penyelesaian sengketa batas laut dibandingkan dengan proses lainnya, seperti arbitrasi, konsiliasi, mediasi dan pengadilan internasional,” kata Eddy.
Menurutnya, penting melakukan Diplomasi Maritim Berkelanjutan. Hal ini adalah upaya untuk mengoptimalkan potensi kelautan guna memenuhi kepentingan nasional secara berkesinambungan dan sistematis.
Hal ini sejalan dengan Prioritas Diplomasi maritim untuk mengakselerasi penetapan batas laut dengan negara tetangga. “Prinsip Continuity dan Sustainability adalah dua prinsip yang perlu dipegang teguh dalam melakukan diplomasi maritim berkelanjutan,” jelasnya. Karena negosiasi batas laut memerlukan waktu yang panjang dan dilakukan secara estafet, bergantian oleh Tim Perunding Nasional.