Jumat 22 Mar 2019 20:35 WIB

'Kelompok Islam Mainstream Belum Mampu Manfaatkan Kampus'

Pemahaman Islam sebagai ideologi masih dikuasai tiga kelompok.

Diskusi bertema 'Transmisi Ideologi Gerakan Keislaman pada Civitas Akedemika Perguruan Tinggi di UGM dan UNY' di Fakultas Filsafat UGM, Kamis (22/3).
Foto: Fernan Rahadi/Republika
Diskusi bertema 'Transmisi Ideologi Gerakan Keislaman pada Civitas Akedemika Perguruan Tinggi di UGM dan UNY' di Fakultas Filsafat UGM, Kamis (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Organisasi-organisasi ekstra kampus yang merepresentasikan kelompok Islam mainstream di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dinilai belum mampu memanfaatkan ruang-ruang kosong yang ada di kampus.

Padahal melalui terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 55 Tahun 2018, tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di lingkungan kampus, saat ini mereka sebenarnya memiliki momentum.

Dengan diterbitkannya Permenristekdikti ini, maka organisasi ekstra kampus seperti PMII, HMI maupun kelompok-kelompok lain seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan lainnya dapat masuk kampus.

"Sayang, kelompok Islam mainstream ini sejauh ini belum optimal memanfaatkannya," ujar salah satu Tim Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unusia, Nurun Najib, kepada wartawan di sela-sela diskusi bertema 'Transmisi Ideologi Gerakan Keislaman pada Civitas Akedemika Perguruan Tinggi di UGM dan UNY' di Fakultas Filsafat UGM, Kamis (22/3).

Najib mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan Tim LPPM Unusia terhadap delapan kampus di empat kota di Indonesia, saat ini pemahaman Islam sebagai ideologi di kampus masih dikuasai tiga kelompok yaitu KAMMI, Gema Pembebasan yang merupakan afiliasi dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Salafi.

"Kelompok yang disebut belakangan (Salafi) memiliki perbedaan sebab cenderung apolitis dan tak membawa narasi Islam politik. Fokus kelompok ini ditekankan pada aspek syariah yang murni," katanya.

Seorang muslim, dalam pandangan kelompok Salafi, seharusnya menjalankan keseharian dengan acuan syariah dan syariah yang dimaksud adalah yang murni. "Tentu ukuran kemurnian di sini maksudnya sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam kelompok tersebut," kata Media Campaign Coordinator LPPM Unusia, Okky Tirto.

"Adapun dua kelompok lainnya, KAMMI DAN GP-HTI cenderung membawa serta politik sebagai bagian yang tak boleh ditinggal dalam beragama. Islam dan Politik menurut kelompok ini merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan," ujarnya.

Okky menambahkan, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dalam hal ini menjadi arena dimana tiga kelompok ini mengkontestasikan gagasan mereka dengan cara berebut kader. "Melalui arena inilah gagasan dipertarungkan dan pada gilirannya ditransmisikan dari angkatan ke angkatan," katanya. 

Acara diskusi kemarin di antaranya menghadirkan pembicara seperti Dosen Fisipol UGM, Dr Abdul Ghaffar Karim, Dosen Filsafat Politik UGM, Agus Wahyudi, Warek Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan UGM, Prof Dr Ir Djagal Wiseso Marseno, dan Warek III UNY, Prof Dr Sumaryanto.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement