REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang terpikirkan masyarakat terkait kokon ulat sutera? Kebanyakan masyarakat tentu berpikir bagian penghasil benang sutera ini hanya bisa digunakan untuk membuat pakaian. Namun faktanya ternyata tidak demikian setelah lima mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) melakukan sebuah riset baru.
Adalah Muhammad Andika Yudha bersama Isramiaty Nurma Sari, Himatul Ulya Al Ulumiyah, Rizki Nissaa' Luthfiya, dan Devi Kurnia Putri yang berhasil menemukan fakta baru dari kokon ulat sutera. Lebih tepatnya bagian tersebut bisa digunakan sebagai produk terapi kesehatan hidung pada manusia. Penelitian perpaduan agrikultur-kesehatan ini kemudian diterapkan pada masker penutup mulut dan hidung.
Juru Bicara Tim Muhammad Andika Yudha menjelaskan, penelitian ini pada dasarnya dilatarbelakangi dari banyaknya pengguna masker sekali pakai terutama perempuan. Di sisi lain, penutup mulut dan hidung ini ternyata bisa menghasilkan limbah yang cukup banyak. "Masker yang digunakan masyarakat juga belum bisa memfilter udara jenis R25," kata pria disapa Andika ini kepada Republika.co.id, Selasa (7/5).
Udara R25 berarti asap yang dihasilkan kendaraan motor dan pabrik industri. Menurut Andika, ukurannya lebih kecil dari sel darah merah sehingga diperlukan filter khusus pada masker. Jika dibiarkan, Andika khawatir jenis udara tersebut dapat menumpuk di paru-paru.
"Lalu menimbulkan efek kesehatan jangka panjang seperti penyakit TBC dan batuk berdarah," kata pria yang kini berusia 21 tahun tersebut.
Untuk informasi, jumlah penderita TBC di Indonesia sebanyak 420.994 juta jiwa berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di 2017. Dari angka tersebut, laki-laki 1,4 kali lebih besar terkena penyakit tersebut dibandingkan dengan perempuan. Umumnya masyarakat Indonesia mencegah penularan TBC dengan melindungi permukaan hidung dan mulut menggunakan masker.
Mengetahui fakta demikian, Andika dan tim pun mulai mencari sebuah inovasi baru yang mampu mengatasi masalah tersebut. Salah satu di antaranya melalui kolom ulat sutera. Pengetahuan ini tak lepas dari pembelajaran yang diterimanya selama kuliah di Fakultas Peternakan, UB.
Menurut Andika, kokon ulat sutera (Bombyx mori) mengandung polifenol alami yang baik untuk kulit wajah. Selain itu, terdapat protein seperti fibroin dan sericin serta elastin-kolagen. Kokon juga memiliki kandungan 20 asam amino dan kadar pH yang hampir sama dengan lapisan kulit manusia.
Selain itu, kepompongnya juga dilaporkan mengandung zat antibakteri. Kandungan tersebut dianggap mampu melindungi kulit dari infeksi bakteri seperti jerawat dan komedo. Berdasarkan hal ini, Andika dan tim menilai, kokon ulat sutera dapat menjaga kulit wajah ketika menggunakan masker mulut.
Tak hanya kokon ulat sutera, Andika juga memasukkan daun tanaman herbal lain di produk penelitiannya. Beberapa di antaranya daun sirih, teh, lavender, kenanga dan lengkuas. Tanaman-tanaman ini mengandung fenil poppies dan terpene yang bersifat melawan virus penyebab TBC untuk masuk ke dalam saluran pernafasan. Daun tersebut juga dapat dijadikan sebagai media relaksasi pada sel saraf.
"Dan di sini kita gunakan kokon ulat sutera bukan kecantikan, tapi penangkap udara kotor yang lengket ke dalam permukaan kokon," tambah dia.
Secara desain, Andika menjelaskan, bentuk masker serupa pada umumnya. Hanya saja, dia lebih memanfaatkan masker kain. Kemudian ditambahkan kain halus lainnya untuk diisi kokon sutera sebagai filter udara.
Andika menegaskan, masker berbahan kokon ulat sutera ini tidak hanya bertugas menyerap udara R25. Namun juga bisa merelaksasi sel saraf sehingga mampu mengurangi kepenatan dan stress pada satu individu. Pasalnya, tim memang sengaja telah menambahkan tetesan esence oil dari tanaman herbal.
Di kesempatan itu, Andika juga tak menampik, terdapat penilaian harga mahal dari kokon ulat sutera. Padahal, ia melanjutkan, harga bahan tersebut lebih murah apabila dibeli langsung dari peternak. Di Malang, Andika dapat memeroleh 500 gram kokon ulat sutera dengan harga Rp 100 ribu. "Kalau umumnya bisa Rp 600 ribu sampai jutaan," jelas Andika.
Karena hal demikian, Andika dan tim pun percaya diri dapat mengomersilkannya suatu hari nanti. Mereka memperkirakan dapat menjual setiap maskernya sekitar Rp 10 ribu. Andika tak berani mematok dengan harga tinggi karena khawatir akan kalah bersaing.
Namun sebelum mencapai target tersebut, Andika akan fokus memperbaiki produk penelitiannya terlebih dahulu. Tim harus mampu mengemas dengan penampilan menarik. Produknya juga perlu melalui uji laboratorium lainnya seperti melihat masa kadaluarsa kokon ulat sutera dan sebagainya.
Selain itu, tim juga berencana mengembangkan aplikasi untuk menjual produknya. Upaya ini sebuah keharusan mengingat Indonesia telah memasuki era Industri 4.0. Mereka tidak lagi memanfaatkan kanal-kanal penjualan dalam jaringan (daring) seperti Tokopedia, Bukalapak dan lain-lain.
Berkat penelitian ini, Andika juga menginformasikan, timnya telah sukses memeroleh medali emas dalam ajang Indonesia International Invention Festival (I3F) di Universitas Ma Chung, Malang, akhir April lalu. Penelitian di kategori mahasiswa ini berhasil mengalahkan peserta dari Afrika, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam dan Singapura.