REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Sutrisnas Wibawa mengatakan penggunaan media sosial dapat berfungsi sebagai diplomasi publik. Media sosial merupakan soft power untuk mempengaruhi audiens dalam membuat keputusan.
"Keberhasilan diplomasi ditandai banyaknya respons suka dan komentar pada gambar dan keterangan gambar yang dibuat," ujar Sutrisna dalam seminar kebahasaan di Jakarta, Selasa (9/7).
Dengan media sosial pula, pemerintah dapat berinteraksi dengan pesan pada platform yang sama dan dapat mendorong audiens untuk menyebarluaskan konten, dan membuat jaringan di kalangan mereka sendiri. Karena itu keberadaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan di media sosial dipandang sangat tepat.
Guru Besar Filsafat Jawa UNY itu berharap konten positif mengenai kebahasaan dan kesusastraan yang disebarluaskan lebih menggaet generasi milenial, yaitu generasi Y (lahir sekitar 1980 sampai 1995) dan generasi Z (lahir sekitar 1995 sampai 2010).
"Media sosial memang dirancang bukan untuk hal-hal serius dan berat. Tetapi kita juga bisa menggunakannya sebagai media mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Cuma kemasannya, penyajiannya harus dibuat ringan dan menyenangkan," kata Sutrisna.
Salah satu pemakalah dalam seminar itu, Pradipta Dirgantara, mengakui peran media sosial sangat penting dalam pengembangan program diplomasi kebahasaan. Ia memberi contoh program Kalawarta yang disiarkan TVRI Jawa Barat yang sempat diasuhnya menggunakan Facebook untuk meningkatkan interaksi dengan audiens. Dengan demikian, program tersebut selain dapat dinikmati oleh pemirsa di wilayah Jawa Barat, juga dapat dinikmati audiens di luar negeri.
"Kira-kira satu dari 10 penonton acara kita menonton dari luar negeri melalui streaming. Mereka orang Sunda yang tinggal di luar negeri yang kangen mendengar percakapan dalam bahasa Sunda," kata Pradipta.
Pradipta berharap semakin banyak media televisi lokal mengangkat program kebahasaan. Misalnya, berita atau gelar wicara yang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Media sosial dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi penonton yang juga merupakan warganet yang didominasi milenial.
"Sebanyak 26 persen dari penonton punya aktualisasi diri sebagai bahasa daerah yang bisa dibanggakan. Jadi ketika mereka ngomong, mereka bangga pakai bahasa daerah," kata Pradipta.
Menurut dia, akun media sosial pemerintah memang perlu membangun kedekatan dengan warganet yang didominasi generasi milenial. Namun, ia berharap agar akun tersebut tidak terjebak dengan tren penggunaan bahasa Indonesia yang kurang baik saat berinteraksi dengan warganet, serta dapat memberikan teladan penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Gaya bahasa yang digunakan akun media sosial pemerintah tidak harus selalu formal, tetapi bisa informal, dengan tetap menjaga kaidah atau elemen dasar dalam berbahasa. Karena hal tersebut cukup esensial agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.