REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK — Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menggelar simposium internasional tentang kemanusiaan dan seni (Inusharts/international university symposium on humanities and arts). Acara yang digelar sejak Selasa hingga Kamis (23-25/7) itu dihadiri ratusan mahasiswa dari berbagai strata yang memenuhi auditorium gedung XI.
Dekan FIB Universitas Indonesia Adrianus Laurens Gerung Woworuntu mengapresiasi acara yang sudah terlaksana sejak 2016 ini. Suatu kebahagiaan untuk menyambut para peserta dan pembicara yang datang dari berbagai universitas di dunia.
Mereka adalah peneliti Asia Universitas Hamburg Herman Dr Monika Arnez, dosen Universitas Soka Jepang Dr Richmond Stroupe, dan dosen Universitas Leiden Belanda Dr Bart Barendregt. Pembicara lainnya adalah pengajar Universitas Napple Italia Dr Chiara Zazzaro, peneliti Universitas Born Swiss Dr Heinzpeter Znoj, pustakawan Universitas Keimyung Korea Selatan Dong Geun Oh, pengajar Universitas Utrecht Belanda Dr Paul Bijl, dan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ahmad Najib Burhani.
“Kami merasa sangat terhormat mendengar pemaparan kalian semua di sini,” ujar Adrianus ketika membuka simposium.
Inusharts adalah konferensi tahunan yang diadakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tahun ini, FIB UI mengubah konsep konferensi yang sebelumnya merupakan simposium sarjana (S1) menjadi konferensi internasional untuk mahasiswa S1, S2 dan S3.
Konferensi ini menjadi wadah diseminasi penelitian yang inovatif dan mutakhir. Inusharts saat ini menggunakan branding 4.0 yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi digital dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Suasana penyelenggaraan Inusharts di UI Depok.
Tema simposium
Delapan tema menjadi pembahasan utama Inusharts. Yaitu perspektif masyarakat Indonesia dalam interdisipliner tentang linguistik terapan.
Materi ini dibahas oleh Richmond Stroupe berdasarkan riset yang dilakukannya di sejumlah daerah di Indonesia. Menurutnya, bahasa Indonesia banyak diterapkan di forum resmi, seperti dalam pertemuan formal dan ruang kelas. Di luar itu, masyarakat berkomunikasi menggunakan bahasa daerah masing-masing. “Kalau pun ada yang berbicara bahasa daerah di dalam pertemuan, maka itu adalah untuk selingan (humor) yang menghibur,” ujarnya.
Kedua bahasa itu berdiri sendiri-sendiri, tapi saling tukar-menukar diksi dan gaya berbahasa. Orang dari daerah A memiliki gaya tersendiri dalam bertutur kata. Tidak sama dengan daerah B.
Dalam berbahasa Inggris pun orang-orang memiliki gaya bertutur yang beragam. Mahasiswa Stroupe di Jepang harus berbahasa Inggris ketika masuk kelas bersamanya. Aksen mereka khas Jepang. Meski berbahasa Inggris tidak berarti mereka terlepas dari asal-usulnya. Intonasi mereka tetap menunjukkan dari mana mereka berasal.
Karena itu, bahasa, termasuk gaya bertuturnya menunjukkan identitas kebudayaan. Bahasa menjadi alat untuk mengetahui dari daerah mana seseorang berasal. Hal ini sangat umum terjadi di berbagai belahan dunia.
Isu lainnya yang dibahas dalam forum internasal ini adalah informasi dan dokumentasi untuk menghasilkan pengetahuan kontemporer. Pematerinya adalah pustakawan Universitas Keimyung Korea Selatan Dong Geun Oh. Pengalamannya menjadi pustakawan di sana dijelaskan kepada ratusan hadirin.
Banyak perpustakaan menggunakan klasifikasi Dewey, tapi Korea Selatan menggunakan Korean decimal classification (KDC). “Semua perpustakaan di tempat kami menggunakan klasifikasi ini,” ujar Oh.
Pengkategorian buku dalam KDC mirip dengan Dewey, tapi memiliki penomoran tersendiri. Nomor 400 digunakan untuk ilmu alam. Teknologi dan enginerering memakai nomor 500. Seni 600 dan bahasa 700.
Tema lain
Tema lainnya yang dibahas dalam forum ini adalah mengartikulasikan identitas di era kekinian, perspektif kritis dan budaya tentang agama dan spiritualitas di Indonesia, pemugaran artefak budaya dan upaya menghidupkan tradisi lokal, dan memori politik masyarakat dan sejarah. Lainnya berkaitan dengan keberlangsungan lingkungan hidup di tengah pembangunan regional. Terakhir adalah gender dan ketidakadilan sosial.
Target dan luaran konferensi adalah delapan buku kumpulan artikel terindeks Scopus yang akan dipublikasikan oleh penerbit Springer dan Palgrave. Selain itu, 15 artikel terpilih akan dipublikasikan di special issue jurnal IRHS (International Review of Humanities Studies). Artikel lainnya akan dipublikasikan dalam prosiding nasional.
Kedelapan pembicara menjadi editor internasional bekerja sama dengan delapan editor internal dari FIB UI. Mereka mengerjakan buku kumpulan artikel yang akan diterbitkan sebagai luaran konferensi ini.