REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Irfan A Fauzi menanggapi kebijakan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang akan mencatat data media sosial dan nomor telepon pegawai hingga mahasiswa di kampus. Menurut Irfan, kebijakan tersebut agak berlebihan.
Menurut Irfan, dalam menangkal radikalisme, pemerintah melakukan pendekatan yang lebih humanis ketimbang dengan melakukan pemantauan media sosial. "Jadi jangan sampai ini malah kontraproduktif. Apasih sebetulnya yang bisa dikedepankan terkait dengan proses radikalisme. Jadi yang agak humanis, mahasiswa diajak dialog bukan dengan cara dibatasi untuk bisa berekspresi," kata Irfan, Rabu (31/7).
Ia pun mempertanyakan apakah dengan dilakukan pemantauan terhadap media sosial dapat efektif menangkal radikalisme di kampus. Jangan sampai, langkah ini justru membuat mahasiswa takut untuk berekspresi di media sosialnya.
Selama ini, lanjut dia, terkait konten yang berbahaya bagi ideologi Pancasila sudah diawasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). Di dalam pengawasan tersebut juga tidak sedikit orang yang sudah diberi peringatan hingga ditangkap karena membuat konten yang berbahaya.
"Bukankah selama ini terkait dengan UU ITE memgatur hal tersebut? Selama ini kan selalu ada tindakan kalau ada yang tidak sesuai tata aturan. Saya pikir itu sudah bentuk hal yang bisa membuat publik paham bahwa di medsos pun ada aturan bermain, tidak mesti harus dicek sosmednya," kata dia.
Ia pun menyarankan agar pemerintah melakukab pendekatan yang lebih humanis terkait menangkal radikalisme ini. Sebab, kampus adalah tempatnya para intelektual sehingga diskusi dan berbagi ilmu adalah cara yang tepat untuk membentuk rasa nasionalisme.
Sebelumnya, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan Kemenristekdikti tidak akan memantau media sosial satu per satu setiap hari. Namun, ia ingin melakukan pendataan sehingga apabila nantinya terjadi masalah bisa dilacak melalui media sosial atau nomor teleponnya.
Ia menjelaskan, apabila di kampus tidak terjadi masalah apapun terkait radikalisme atau intoleransi maka tidak akan dilakukan pelacakan. Sebaliknya, apabila terjadi masalah terkait radikalisme atau intoleransi di kampus maka data medsos dan nomor telepon tadi akan dilakukan pelacakan.
"Itu baru kita lacak. Oh, ternyata mereka punya jaringan ke organisasi ini," kata Nasir, dalam konferensi pers penerimaan mahasiswa baru, di Kantor Kemenristekdikti, Jumat (26/7).
Nasir menegaskan, hal yang diawasi oleh Kemenristekdikti hanyalah terkait radikalisme dan intoleransi. Terkait aktivitas mahasiswa dalam mengekespresikan diri di media sosial, tidak akan diatur lebih jauh oleh pihaknya.