Selasa 17 Sep 2019 19:16 WIB

Rektor UII Sampaikan Peran Medsos Bangun Budaya Damai

Sejumlah contoh pengembangan partisipasi demokratis telah diterapkan di Indonesia.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
 Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, saat menjadi pemateri diskusi Studi Komparasi Budaya Damai dan Demokrasi Berkelanjutan: Indonesia dan Thailand di Royal Princess Larn Luang Hotel, Bangkok, Thailand.
Foto: Dokumen.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, saat menjadi pemateri diskusi Studi Komparasi Budaya Damai dan Demokrasi Berkelanjutan: Indonesia dan Thailand di Royal Princess Larn Luang Hotel, Bangkok, Thailand.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, jadi pemateri diskusi Studi Komparasi Budaya Damai dan Demokrasi Berkelanjutan: Indonesia dan Thailand. Dalam materinya, Fathul menyampaikan peran internet dan media sosial.

Ia mengatakan, internet dan media sosial memiliki peran yang penting dalam pengembangan budaya damai di suatu bangsa. Fathul mengingatkan, budaya damai sendiri dibangun atas berbagai pilar.

Di antaranya, lanjut Fathul, partisipasi demokratis dan kebebasan arus informasi. Melalui kanal itu, aspirasi dari masyarakat dapat langsung diterima dan menjadi pertimbangan kebijakan pemerintah.

Fathul menjelaskan sejumlah contoh pengembangan partisipasi demokratis yang telah diterapkan di Indonesia. Salah satunya, Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR).

"Melalui layanan ini, masyarakat dapat menyampaikan laporan dan berinteraksi langsung kepada instansi pemerintah yang berwenang," kata Fathul, di Royal Princess Larn Luang Hotel, Bangkok, Thailand, Senin (16/9).

Ia menerangkan, pemanfaatan LAPOR oleh masyarakat sebagai bentuk e-partisipasi merupakan contoh peran positif internet. Utamanya, dalam pengembangan budaya damai di Indonesia.

Di sisi lain, Fathul menuturkan, internet dan media sosial juga memiliki potensi peran negatif dalam penguatan budaya damai. Apalagi, dalam era pascakebenaran (post-truth).

Yang mana, kepercayaan pribadi dan emosi justru lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik. Sekalipun, jika dibandingkan dengan fakta dan objektivitas.

"Oleh karena itu, mitigasi risiko dan pemanfaatan internet dan media sosial secara tepat mutlak diperlukan agar terhindar dari eskalasi budaya konflik," ujar Fathul.

Diskusi panel sendiri terselenggara atas kerja sama UII dan The King’s Prajadiphok Institute (KPI) Thailand. Turut hadir dalam diskusi 20 akademisi-akademisi Thailand dan Indonesia.

Ada anggota-anggota parlemen Thailand dan perwakilan dari senat Kamboja. Selain Fathul, panelis lain merupakan Perdana Menteri Thailand 2008-2011, Abhisit Vejjajiva.

Kemudian, ada pula anggota DPR Thailand, Nikorn Chamnong dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Chulalongkorn, Thailand, Siripan Nogsuan Sawasdee.

Senada dengan Fathul, Siripan Nogsuan Sawasdee menyampaikan kalau demokratis merupakan satu pilar penting membangun budaya damai. Tapi, budaya damai dan demokrasi tidak selalu bisa hidup bersama.

"Institusional yang lemah dan konflik ekonomi dapat berpotensi menjauhkan demokrasi dari budaya damai," ujar Sawasdee.

Sedangkan, Perdana Menteri Thailand 2008-2011, Abhisit Vejjajiva berpendapat, ada tiga hal penting dalam pembangunan budaya damai. Ada supremasi hukum, transparansi dan kontrak sosial.

Ia merasa, Thailand dan Indonesia dengan kesempatan dan tantangan masing-masing telah berupaya membangun ketiganya. Khususnya, usai krisis finansial pada 1997 dan 1998.

Vejjajiva menambahkan, ketiganya berperan penting menyelesaikan isu-isu sensitif di masyarakat. Mulai dari relasi monarki sampai pemerintah eksekutif di Thailand.

"Edukasi publik juga memiliki peran penting untuk membangun budaya damai melalui peningkatan pemahaman masyarakat dalam menghargai perbedaan pendapat," kata Vejjajiva, menutup.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement