REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- 19th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) digelar di Jakarta sejak 1 hingga 4 Oktober 2019 lalu. Sekitar 50 persen penggagas tema diskusi panel dan narasumber dalam acara ini berasal dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ketua Steering Committe AICIS, Noorhaidi Hasan, menyampaikan terkait berbagai hasil penelitian studi keislaman terbaru. Yang mana, berbagai temuan hasil riset sarjana Muslim Indonesia mengungkap temuan menarik terkait kehidupan beragama di negara-negara berpenduduk Muslim, termasuk Indonesia.
Dalam forum ini, Hasan memeringatkan terkait era disrupsi teknologi yang ditandai dengan hadirnya revolusi industri 4.0. Yang mana, hal tersebut dapat membawa perubahan signifikan dalam kehidupan beragama.
"Teknologi digital membuat pemahaman dan praktik keberagamaan Islam telah berubah secara signifikan," kata Noorhaidi, Sabtu (5/10).
Ia menjelaskan, saat ini di banyak negara telah mengalami fenomena yang disebut digital Islam. Fenomena yang terjadi di negara-negara berpenduduk Muslim ini, sebagai akibat persinggungan Islam dengan pluralisme dan demokratisasi.
Digital Islam, katanya, telah meniupkan angin baru dalam keyakinan dan praktik, di mana seringkali bertentangan dengan otoritas tradisional Islam yang selama ini dominan. Digital Islam tidak hanya mencakup Islam daring, tetapi tentang model baru, suara baru, format, dan gaya baru yang identik dengan era milenial.
“Pada zaman ini telah timbul genre baru yang mengintegrasikan Islam dengan gaya hidup neoliberal,” katanya.
Menurutnya, saat ini para pelaku agama Islam dari berbagai latar belakang telah menampilkan wacana baru yang mengontekstualisasikan Islam dalam penerapannya di segala bidang. Hal ini, membawa implikasi penting baik yang bersifat positif dan negatif.
"Di antara pelaku neo Islam ini tidak memiliki akar keagamaan yang baik dan implikasinya memanipulasi simbol-simbol dan ritual keagamaan," jelasnya.
Sebagai perlawanan terhadap hal itu, lanjutnya, ulama tradisional pun kemudian menggunakan platform digital dalam menghadang praktik keagamaan tersebut. Pada saat yang sama, sufisme dan salafisme juga memunculkan diri dengan melabeli diri sebagai Islam yang lebih otentik.
"Dalam platform digital yang sama, semua aliran mengekspresikan diri. Maka secara umum agama Islam meraup lebih banyak audiens dan kemudian mendapat legitimasi politik secara lebih kuat," tambahnya.
Ia mengatakan, kaum milenial khususnya memiliki peran penting dalam lingkup digital Islam. Mereka tampil sebagai trend-setter di lingkup global yang secara faktual mengontektualisasi Islam dengan gayanya.
"Hal ini bukan tanpa ekses, karena di era digital ini memungkinkan banyak hal buruk terjadi, termasuk diseminasi konservativisme, radikalisme, dan terorisme," jelasnya.
Direktur Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Arskal Salim mengatakan, saat ini pendidikan Islam menjadi instrumen penting. Sebab, pendidikan Islam memiliki kapasitas memproduksi dan mentransmisikan pengetahuan studi Islam yang benar, khususnya kepada generasi muda.
Pada saat Muslim Indonesia terlibat dalam berbagai cara pemahaman normatif, lanjutnya, pendidikan Islam harus memainkan peran penting. Tentunya dalam mengontrol visi generasi muda Muslim di masa depan.
"DNA Kementerian Agama adalah Islam moderat. Serangan digitalisasi Islam yang membawa implikasi penyimpangan dan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini," ujarnya.
Pada AICIS ke 19 ini, sebanyak 1.100 sarjana dalam bidang Islamic Studies berkumpul. Konferensi tahunan ini mengambil tema 'Digital Islam, Education and Youth: Changing Landscape of Indonesian Islam'. Pertemuan ini membahas 450 paper dari 1.300 yang diseleksi.
Dari acara ini, dihasilkan tiga rekomendasi yang harus diperhatikan stakeholder keislaman dunia terkait fenomema digital Islam. Pertama, perlu pemahaman mendalam tentang kompleksitas Islam digital sebagai hasil persinggungan antara Islam society dengan digital teknologi, di mana terdapat kebutuhan pemikiran ulang atas perpektif lama studi Islam.
Kedua, sarjana Muslim perlu memperkaya studi digital Islam dan reorientasi metodologi, khususnya terkait persinggungan Islam dengan gaya beragama anak muda milenial.
Ketiga, terkait pemahaman interpretatif dan wacana agama kaum muda, para pemangku kepentingan pendidikan Islam perlu melakukan langkah-langkah strategis, terintegrasi, dan komprehensif untuk mempromosikan Islam moderat di kalangan milenial.