REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dosen Departemen Fisika Universitas Airlangga Suryani Dyah Astuti bersama tim memanfaatkan ozon untuk meningkatkan efektivitas terapi fotodinamik dan dekontaminasisimplisia. Ini merupakan pengembangan dari aplikasi yang dibuat Muhammad Nur dari Universitas Diponegoro.
Muhammad Nur membuat dan mengaplikasikan produk inovasi berbasis teknologi plasma untuk pangan dan lingkungan. Teknologi plasma tersebut dimanfaatkan untuk pengawetan produk pertanian hortikultura.
"Plasma merupakan gas yang terionisasi dalam lucutan listrik atau dapat didefinisikan sebagai percampuran dari elektron, radikal, ion positif, dan negatif. Salah satu produknya adalah ozon," kata Dyah melalui siaran persnya, Ahad (13/10).
Aplikasi tersebut, kemudian dikembangkan dengan memanfaatkan ozon hasil teknologi plasma untuk meningkatkan efektivitas metode photodynamictherapy (PDT). Aplikasi metode PDT merupakan salah satu contoh terapi yang digunakan pada bidang kesehatan yaitu menyembuhkan luka karena infeksi mikroba.
"Selain itu, ozon juga dapat digunakan untuk reduksi biofilm, sterilisasi, dan dekontaminasi pada bahan pangan dan obat,” ujar Dyah.
Dyah menuturkan, bakteri yang menyebabkan penyakit infeksi kronis pada manusia umumnya mampu membentuk biofilm. Biofilm merupakan suatu komunitas sel mikroorganisme yang terstruktur, saling menempel, dan memproduksi matriks polimer yang mampu melekat pada permukaan biologis maupun benda mati.
Karakteristik biofilm, kata Dyah, adalah resistensinya terhadap agenantibiotic. Terapi menggunakan agen antibiotic pada umumnya hanya akan membunuh sel-sel mikroorganisme dalam faseplanktonic atau yang berenang-berenang di luar biofilm.
Sedang bentuk bakteri yang tersusun rapat dalam biofilm akan tetap hidup dan berkembang, serta akan melepaskan sel-sel planktonic untuk kemudian berkembang kembali. Sehingga, infeksi yang diderita akibat pertumbuhan mikroorganisme dalam fase biofilm menjadi sulit untuk ditangani.
Pada prinsipnya, PDT menggunakan tiga bahan utama, yaitu cahaya, photosensitizer, dan oksigen. Ozon yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi PDT ini diharapkan mampu meningkatkan produksi oksigen saat terapi, karena lack of oxygen terjadi pada dasar biofilm.
"Dengan tersedianya ozon maka mekanisme fotosensitisasi akan terjadi," kata Dyah.
Berdasarkan hasil penelitian, lanjut Dyah, aplikasi ozon untuk terapi fotodinamik memiliki 2 tahap penelitian, yakni pre klinis (in vitro) dan klinis (in vivo). Pada tahap klinis, metode itu diaplikasikan untuk penyembuhan luka yang disebabkan oleh infeksi bakteri/biofilm. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas ozon dan PDT untuk terapi luka infeksi.
Pada tahap in vivo, ozon dipaparkan langsung pada hewan coba model luka dengan konsentrasi rendah. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa penggunaan ozon mampu meningkatkan efektifitas reduksi biofilm sekitar 80 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan laser saja, yang hanya 60 persen.
Dyah menambahkan, ozon juga dapat digunakan untuk dekontaminasi bahan-bahan obat dan simplisia. Dekontaminasi adalah upaya mengurangi dan atau menghilangkan kontaminasi oleh mikroorganisme.
Seperti diketahui banyak masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi obat-obatan herbal. Penyucian dan penyimpanan obat herbal yang kurang baik menyebabkan bahan tersebut mudah dicemari oleh mikro organisme seperti bakteri, kapang, dan khamir, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
Dengan adanya riset tersebut, Dyah berharap bisa menghasilkan karya-karya berbasis inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau. Di Indonesia, kata dia, dominasi alat kesehatan impor sangat besar.
"Kita inginnya bisa membuat dan mengembangkan alat-alat kesehatan dalam negeri dari komponen yang ada. Menurut saya inovasi juga dapat dimulai dari hal sederhana dikembangkan lebih lanjut akan menghasilkan produk yang luar biasa," kata Dyah.