REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Alazhar Indonesia, Asep Saefuddin menanggapi kebijakan Kampus Merdeka yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim. Khususnya soal membolehkan tiga semester mahasiswa belajar di luar program studi. Namun, ia menilai pasti ada kampus yang belum siap menjalankannya.
Ia mengatakan, pimpinan kampus harus mampu menerjemahkan kebijakan merdeka belajar di perguruan tinggi sebaik-baiknya. "Kita paham dari 4.000-an kampus itu ada yang sudah siap ada yang belum, tetapi kebijakan merdeka belajar itu bagus agar yang siap tidak terkendala kebijakan yang mengikat sehingga kampus-kampus yang bagus dan sudah siap malah ketarik ke bawah," kata Asep, Selasa (28/1).
Ia melanjutkan, saat ini pastinya ada upaya dari kampus untuk menerjemahkan kebijakan tersebut dengan cepat. Namun, ada pula yang masih bersiap untuk lari dan ada perguruan tinggi yang masuk merasa berat dalam melakukan kebijakan tersebut.
Asep berpendapat, hal tersebut sebenarnya wajar terjadi. Sebab, kampus di Indonesia memiliki jumlah yang banyak dengan kondisi yang berbeda-beda. "Tidak apa-apa itu. Yang sudah bisa lari silakan lari cepat, yang belum siap, bisa belajar kepada yang sudah lari," kata Asep menjelaskan.
Di dalam kebijakan Kampus Merdeka, selama tiga semester mahasiwa diperbolehkan untuk mengajukan pembelajaran di luar program studi. Mahasiswa bisa menambah ilmu di program studi lain atau dengan mengajukan magang, penelitian, mencoba membuat sebuah proyek, atau pengabdian di masyarakat.
Asep berpendapat, hal tersebut akan sangat diperlukan oleh mahasiswa agar mereka tidak berperilaku seperti katak dalam tempurung. Para mahasiswa, kata Asep bisa melakukan credit earning activities (CEA) di luar kampusnya.
"Misalnya mahasiswa perguruan tinggi A bisa melakukan CEA di perguruan tinggi B yang berada di dalam atau di luar negeri. Jadi mahasiswa itu setidaknya bisa merasakan belajar selama 1 sampai 3 semester di kampus lain," kata Asep.
Hal ini, menurut dia akan bagus bagi mahasiswa ataupun kampus tempatnya belajar sehingga bisa melakukan kerja sama. Kebijakan semacam ini, kata Asep sudah diterapkan di luar negeri.
"Sewaktu saya sekolah S2/S3 tahun 1990-1996 di Guelph Kanada, diperbolehkan ambil mata kuliah di kampus-kampus luar Guelph. Waktu itu saya sempat ambil satu semester di University of Michigan USA," kata dia lagi.
Melalui kebijakan itu, ia pun mendapatkan ilmu sekaligus merasakan suasana yang berbeda dari kampus lain. Tentunya, hal itu membuka wawasan tentang atmosfer pendidikan yang baru dan menjadiebih luas.
Pola ini akan sangat berpengaruh positif terhadap mahasiswa. Daripada mahasiswa selama empat tahun di kampus yang sama, yang dinilai Asep akan kurang baik bagi masa depan mereka.