Sekolah dan pemimpin, sepintas tak ada hubungan sama sekali di antara keduanya. Namun jika ditelisik lebih jauh, dua hal ini bisa saling mempengaruhi satu sama lain.
Sekolah tanpa pemimpin, apa jadinya. Apa mungkin sekolah tak punya pemimpin? Impossible, 'kan ada kepala sekolah. Persoalannya, benarkah figur kepala sekolah bisa jalankan peran sebagai pemimpin? Sadarilah, ini persoalan serius yang mesti dihadapi sekolah.
Sekolah butuh pemimpin, tapi tidak sebaliknya. Sekolah akan kehilangan arah andai tak ada kepala sekolah.
Kepala sekolah merupakan sosok yang bisa bangunkan motivasi mengajar para guru, membenahi sistem yang ada, menjadi teladan bagi para murid, penyambung aspirasi antara orang tua dengan pihak sekolah. Tak ada yang sangsikan peran kepala sekolah sangat penting. Penting bukan karena sekadar menyandang status kepala sekolah, tapi mampu jalankan peran serta fungsi.
Bicara soal eksistensi, ada dan tiadanya kepala sekolah tetap jadi perbincangan menarik. Lihat "drama" ketika terjadinya mutasi. Ada kepala sekolah yang ditangisi kepergiannya. Sontak semua stakeholders sekolah meminta dinas pendidikan mengurungkan keputusannya. Tak sedikit juga kepala sekolah yang disyukuri kepergiannya. Bahkan seluruh warga adakan acara syukuran. Mengapa hal ini terjadi?
Kepala sekolah adalah jabatan, setuju? Siapa pun yang menduduki jabatan itu, punyakah dia sifat kepemimpinan? Leader without leadership, itulah persoalan kita.
Jika ada kepala sekolah yang utamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan sekolah, pasti dia punya cara berpikir only for profit. Padahal jelas, sekolah bukan perusahaan apalagi ladang bisnis. Dia pasti akan bilang sekolah tak punya anggaran untuk meningkatkan kompetensi guru, ikutkan siswa dalam lomba-lomba antar sekolah, gaji guru selalu telat dibayar. Tapi di saat bersamaan, gaya hidupnya meruah-ruah. Mobil pribadinya bertambah terus, bangun rumah baru di kawasan elit, kisah yang memilukan bukan?
Sekolah di tangan kepala sekolah macam begini pasti berantakan. Guru-guru demotivasi. Soliditas tim hancur lebur. Sikut sana sikut sini. Guru "terbelah" menjadi dua. Guru yang siap berkongsi dan jadi pendukung kepala sekolah, dia pasti dapat promosi. Guru yang berani nyatakan tak sepakat pasti bisa kena masalah. Minimal dibuat tak nyaman saat bekerja, alih-alih siap-siap dimutasi.
Kepala sekolah seperti itu pasti tinggi hatinya. Dia pasti anti dengan kritik maupun masukan. Dia akan buat jarak antara dirinya dengan semua warga sekolah. Cara berpikirnya pasti semuanya tentang "AKU". Apa urusannya dengan Anda? Inilah sosok kepala sekolah tak punya sifat kepemimpinan. Dia perankan dirinya sebagai pimpinan bukan pemimpin. Hidupnya pasti rusak dan merusakkan.
Beda lagi dengan cerita kepala sekolah yang satu ini. Bagi dia, "kepala sekolah" hanya sekadar jabatan. Jabatan itu amanah, hal itu tak bersifat abadi. Besok lusa mungkin jabatan itu akan hilang.
Maka selagi masih menjabat, dia pasti berpikir hal terbaik apa yang bisa diberikan untuk keberhasilan sekolah. Pantang dia lakukan korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Karena dia sadar itu akan merusak tim serta menghancurkan sistem sekolah perlahan-lahan.
Suasana keterbukaan dan kebersamaan segera dibangun di awal kepemimpinan. Tak akan ada ghibah serta fitnah karena semua warga sekolah boleh bersuara di forum sekolah. Tanpa disadari, sekolah sedang membangun budaya komunikasi produktif.
Kepala sekolah membuka diri dengan kritik. Ini cara mendidik yang konkret. Guru belajar untuk berani katakan "TIDAK" jika memang itu benar adanya.
Ma’ruf atau tidak cara penyampaiannya, kepala sekolah tundukkan egonya, terima kritiknya, dan segera berbenah diri. Jika kepala sekolah salah, dia akui kesalahan kepada guru, orang tua, bahkan siswa sekali pun.
Yakinlah, harkat martabat kepala sekolah macam ini tak akan hancur berantakan. Justru sikap ini akan pantik simpati dari banyak orang. Guru pun pasti malu kalau tak mampu lakukan hal yang sama pada murid. Semua orang lantas akan bilang, “Kami ikhlas dipimpin kepala sekolah ini”. Kepala sekolah seperti ini hidupnya pasti selamat dan menyelamatkan.
Pemimpin pasti paham untuk apa jabatan itu digunakan. Inilah sedekah terbaik yang bisa dilakukannya, membuat kebijakan yang bermanfaat bagi masa depan sekolah.
Sosok pribadinya sangat mempesona. Mempesona bukan karena tak ada kesalahan yang dibuatnya. Ingat, kepala sekolah bukan manusia setengah dewa kata Iwan Fals. Dia tetap manusia biasa yang kerap lakukan kekeliruan. Kekeliruan itu bisa dimaafkan. Ini namanya proses belajar dan pendewasaan diri.
Jika dia mau terima kritik karena kesalahannya, lalu dia segera perbaiki diri, ini baru TOP MARKOTOP. Tapi, jika egonya tak mampu ditaklukkan, pasti hasrat serta nafsu akan selalu menjadi pemandu dalam mengambil kebijakan. Hasilnya apa? Pastilah keresahan, kegundahan dan kerusakan bagi keberlangsungan sistem sekolah.
Wahai para pengambil kebijakan, pilihlah kepala sekolah yang mampu perankan dirinya jadi pemimpin bukan pimpinan. Cirinya sederhana saja, telisik sisi pribadinya lalu cari tahu apakah dia sosok yang rendah hati. Karena St. Augustine pernah berujar, “Anda ingin naik? Mulailah dengan turun. Anda ingin membangun menara tinggi menjulang? Mulailah dengan menanam fondasinya, yaitu kerendahan hati”.
Asep Sapa'at
Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa