Jumat 31 Aug 2012 15:53 WIB

Mendidik Hidup Sederhana

Mendidik hidup sederhana (ilustrasi)
Foto: stuffbyme7.blogspot.com
Mendidik hidup sederhana (ilustrasi)

 

“Hidup sederhana itu indah,” ujar salah seorang guru saya belasan tahun lalu. Saya sulit melupakan pesan singkat sarat makna ini. Sampai tiba saat saya mendapat pengalaman nyata, yang menyempurnakan pemahaman saya tentang makna hidup sederhana dan mengapa mesti hidup sederhana.

Saat sekolah di bangku SMP sekitar tahun 1995, saya mendapat jatah uang jajan sekolah Rp 1.000,- per hari. Uang itu bisa saya gunakan untuk ongkos naik angkutan umum pulang pergi Rp 300,-, sisanya bisa dibelanjakan sesuai keinginan.

Saya bersyukur bisa mendapat uang jajan, jika melihat banyak teman lain ada yang tak dapat. Bahkan, ada yang mesti jalan kaki pergi dari rumah menuju sekolah.

Entah kesadaran ini datang dari mana. Di usia saya saat itu, saya punya prinsip jangan pernah hamburkan uang untuk sesuatu yang tak bermanfaat. Apalagi digunakan untuk berfoya-foya. Nurani saya selalu mengingatkan, “Tak selamanya hidup ini indah dan serba ada. Belajarlah mengelola uang yang dimiliki.” Bersyukurlah dan bersikaplah yang tepat untuk kelola apa pun yang dimiliki. 

Nah, suatu hari saya dipanggil orang tua. Mereka sampaikan satu hal penting, “Sep, Bapak dan Ibu sudah memutuskan bahwa kita sekarang akan memberi jatah uang jajannya bulanan, bukan harian lagi. Kami berikan jatah uang Rp 20.000,-, silakan diatur, pokoknya harus cukup.”

Wah, saya sempat berpikir, apa maksud dari semua ini? Saya kemudian langsung melakukan kalkulasi. Kalau saya hitung-hitung, biaya yang sudah pasti akan digunakan yaitu untuk transportasi Rp 300,- selama 24 hari (hari efektif sekolah pada saat itu dari senin sampai sabtu). Total saya mesti keluarkan Rp 7.200,- agar saya bisa sampai ke sekolah. Sisanya Rp 12.800,-, angka yang cukup fantastis untuk bisa saya gunakan sesuka hati saya pada saat itu.

Jika saya dikendalikan nafsu, apa pun yang saya inginkan, pasti akan dibeli. Uniknya, kesadaran saya selalu menuntun untuk tak hambur-hamburkan uang jajan. Bagaimana perasaan orang tua andai saya bersikap boros dalam menggunakan uang itu?

Meski orang tua tak pernah sampaikan hal ini, tapi saya merasa mereka sedang menguji sikap dan tanggung jawab saya dalam mengelola keuangan. Bukankah ini pembelajaran yang paling nyata untuk melatih pola hidup sederhana?

Sejak duduk di bangku TK, ibu sudah membiasakan anak-anaknya untuk sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. Hal itu terus berlangsung sampai saya sekolah di SMA. “Kalau sudah sarapan, mau jajan apa pun silakan,” itu yang sering terucap dari sosok ibu.

Sarapan pagi merupakan salah satu rahasia untuk menjaga kesehatan. Sarapan pagi bisa memberi otak bahan bakar untuk meningkatkan konsentrasi, menghindari makan tak terkontrol, menambah esensi nutrisi serta tingkat keseluruhan energi. Satu yang selalu tertancap di benak, inilah bukti kasih seorang ibu untuk mengantarkan anaknya ketika hendak mencari ilmu.

Kembali ke soal uang jajan, bagaimana nasibnya? Karena saya sudah sarapan, buat apa beli jajanan yang tak penting. Apalagi jika diragukan aspek kesehatannya. Praktis, saya hampir jarang sekali gunakan uang itu untuk jajan di sekolah. Lalu, sisa uang di luar biaya transportasi digunakan untuk apa? Menabung dan belanja buku, dua hal yang saya gemari sejak saat itu hingga hari ini.

Jika soal kebajikan, lihatlah ke atas. Berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kita boleh iri jika teman kita lebih rajin ibadahnya, lebih dermawan untuk bantu sesama. Itu iri produktif, kita sebut saja begitu istilahnya. Hasilnya, kita akan selalu termotivasi untuk berbuat baik.

Tapi kalau soal harta, lihatlah ke bawah. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki saat ini. Jika kita mengeluh soal menu makan, sadarilah masih banyak orang yang tak bisa makan. Jangan terlalu banyak mengeluh soal gaji karena masih banyak pengangguran tak punya pendapatan. Jangan langsung kebakaran jenggot lihat tetangga beli motor baru. Lantas kita segera beli motor juga padahal kita amat tak membutuhkannya. Hanya karena kita kena penyakit susah lihat orang senang. Capek deh.. 

Bersyukurlah, maka hati pun akan merasa damai tenteram. Jika kenikmatan hidup kita makin bertambah, yakinlah karena Allah SWT, Tuhan semesta alam tak pernah ingkar dengan janji-Nya, melipatgandakan kenikmatan bagi insan yang pandai bersyukur.

Prinsip hidup tersebut yang sangat memengaruhi cara berpikir dan bersikap saya dalam mengelola sisa uang jajan Rp 12.800,-. Tak bersikap boros serta gunakan uang jajan untuk hal bermanfaat, itu pemaknaan wujud rasa syukur saya di usia 13 tahun.

Kini, saya baru sadar sepenuhnya, apa yang dilakukan orang tua merupakan pelajaran paling berharga tentang makna hidup sederhana. Bahkan tak hanya itu, saya juga belajar tentang arti tanggung jawab dalam mengelola keuangan. Inilah hakikat proses pendidikan. Belajar tak mesti dicekoki dengan seabrek teori tentang hidup sederhana. Atau, doktrin harus hidup sederhana padahal orang tua bersikap boros dalam mengelola keuangan keluarga.

Jujur, saya relatif mudah berlaku sederhana karena ibu telah menjadi contoh nyata yang bisa saya teladani. Intinya, langsung praktikkan suatu ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini wajib dilakukan agar anak tak sekadar paham suatu ilmu, tapi juga mampu menghayati ilmu itu sepanjang hidupnya. Sejatinya, itulah proses mendidik.

Coba bedakan dengan kasus satu ini yang sempat dituturkan sahabat lama saya. “Di rumah, orang tua tak bisa kendalikan nafsunya untuk membeli apapun yang diinginkan. Sudah bisa ditebak, apa yang diminta anak, pasti orang tuanya akan penuhi. Jangan heran jika anak seusia SD pun sekarang sudah bawa mobile phone ke sekolah. Anak SMP merasa kurang gagah jika tak tunggangi sepeda motor berangkat ke sekolah. Tanya pada orangtuanya, apakah anaknya memang membutuhkannya atau sekadar untuk pamer saja?” curhat sahabat saya yang berprofesi menjadi guru.

Sungguh amat melelahkan memang, andai hidup dikendalikan keinginan tak terbatas. Alih-alih hidup bahagia, malah bisa jadi hidup sengsara berkepanjangan. Lantas, jika di sekolah, guru berbusa-busa jelaskan teori tentang hidup sederhana tapi dia tak beri keteladanan, itulah pengajar. Sekadar menyampaikan ilmu pengetahuan.

Memang, bersikap sederhana itu pilihan. Proses pembiasaan dan peneladanan akan selalu menjadi kunci sukses dalam mendidik hidup sederhana pada anak-anak kita. Hidup sederhana, mudah diucapkan, namun perlu proses panjang agar bisa terinternalisasi pada diri pribadi serta anak-anak kita. Karena sederhana itu sebuah pilihan, maka didiklah anak-anak kita agar sadar mengapa mereka mesti bersikap sederhana. 

Asep Sapa'at

Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement