Apa beda makna belajar dan bersekolah? Mana yang wajib, bersekolah atau belajar? Ahmad Bahrudin (Pendiri Komunitas Qoryah Thayyibah – Salatiga) pernah berujar, “Orang boleh putus sekolah, tapi tak boleh putus belajar”.
Orang sekolahan belum tentu dia sudah belajar. Belajar pun tak mesti harus dibatasi oleh ruang sempit berwujud sekolah. Lantas, jika orang sudah paham belajar itu wajib tapi tak mampu bersekolah, apa yang harus dilakukan? Pak Ahmad Bahrudin beserta komunitas QT punya jawaban atas pertanyaan tersebut.
Komunitas belajar Qoryah Thayyibah (QT) merupakan satu model pendidikan alternatif berbasis komunitas (community-based education). Cita-citanya yakni terwujudnya masyarakat pembelajar yang berkeadaban luhur.
Dalam proses pembelajarannya, komunitas ini berpijak pada konteks kehidupan lingkungan sekitar. Dengan melibatkan seluruh komunitas masyarakat sekitar sebagai subjek pembelajar, komunitas ini sekaligus menempatkannya sebagai guru, serta lingkungan alam dan sosial sebagai laboratorium pendidikan.
Di situlah letak keunikan sekaligus keunggulan QT. Eksistensinya mampu menjadi bagian terintegrasi dari kehidupan masyarakat setempat.
Dukungan mengalir dari berbagai pihak karena sistem manajemennya yang mengedepankan prinsip transparansi akuntabilitas. Sekolah boleh serba terbatas, tapi semangat belajar siswa mesti tetap berkobar.
Dahsyatnya, sekolah bisa merefleksikan jati diri masyarakat sekitarnya. Kesan menara gading sudah terhapus di benak masyarakat. Semua bisa terjadi karena sekolah mampu menjadi alternatif solusi bagi persoalan masyarakat sekitarnya. Sesuatu yang sulit dilakukan kebanyakan sekolah lain pada umumnya.
“Saya sedih melihat anak-anak desa tidak paham dengan problem masyarakatnya. Komunitas ini hadir untuk membantu anak-anak paham dengan masalah desa, sekaligus mampu menjadi problem solver bagi masyarakatnya,” urai Pak Ahmad Bahrudin tentang awal proses pendirian komunitas QT.
Ketika salah satu anaknya hendak melanjutkan sekolah dari SD ke SMP, ternyata hanya Pak Ahmad yang mampu membayar biaya masuk sekolah. Orang tua lainnya, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, tak sanggup membayar uang pangkal sekolah. Momen inilah yang mengetuk nuraninya untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat desa.
Logika "karena miskin dan bodoh tidak bisa sekolah" dibalik menjadi "justru karena miskin dan bodoh, orang harus belajar agar pintar dan sejahtera". Belajar tidak harus melalui persekolahan. Orang boleh putus sekolah tapi tidak mungkin putus belajar. Putus belajar berarti putus dengan kehidupan. “Anak wajib belajar, tapi tak mesti harus bersekolah jika tak mampu,” tegas pria berpenampilan sederhana ini.
Walau tinggal di sebuah dusun, siswa-siswi komunitas QT bisa mengakses internet 24 jam. Mana mungkin? Nothing is impossible. Fasilitas ini didapatkan secara gratis dari sumbangan salah seorang pengusaha yang tertarik dengan konsep komunitas belajar QT.
Pak Din memang sosok yang visioner. Cara berpikirnya mungkin bisa kalahkan cara berpikir orang urban sekali pun. Uang saku harian anak-anak sebesar 4 ribu rupiah dikelola secara profesional guna menutupi biaya operasional sekolah. Angka 4 ribu rupiah sendiri disepakati bersama dengan pihak orangtua siswa. Tak ada istilah "inpak" alias iuran paksa. Semua dibahas secara terbuka dan tak dipaksakan kepada orang tua yang memang tak bisa bayar.
Dari uang 4 ribu tersebut, seribu rupiah disisihkan untuk biaya cicilan pembelian gitar dan komputer, guna mendukung program ekstrakurikuler. Seribu rupiah untuk biaya makan siang dan minum susu. Sisanya, dikelola untuk semua kebutuhan siswa lainnya.
Masyarakat sekitar makin mencintai keberadaan komunitas ini karena jauh dari kesan elit dan eksklusif. “Kami sengaja membeli susu dari orang tua siswa yang menjadi pedagang susu. Misal, jika mereka menjual susu 1 liternya Rp 1.200,-, kami membelinya di atas harga tersebut. Semoga bisa membantu usaha orang tua siswa agar bisa terus berkembang,” ungkap Pak Din soal ikhtiarnya membantu pengembangan usaha ekonomi masyarakat desa.
Ketika sekolah lain berlomba-lomba bergagah-gagah ria dengan label "standar nasional", "rintisan sekolah bertaraf internasional", "sekolah bertaraf internasional", komunitas QT adem ayem saja dengan konsep penyelenggaraan pendidikannya yang berfokus pada pemenuhan hak-hak belajar siswa. Mereka punya kurikulum KBK, singkatan dari "Kurikulum Berbasis Kebutuhan".
Strategi pembelajaran komunitas ini berpusat pada subjek pembelajar dan selalu memanfaatkan segala yang ada di lingkungan sekitar. Termasuk, kompleksitas masalah masyarakat desa sebagai sumber pembelajaran. Wajar jika siswa sangat kerasan belajar di QT. Siswa QT sudah menganggap belajar sebagai kebutuhan dan bisa jadi modal bagi pencapaian cita-cita masa depan mereka.
Belajar bukanlah konsep abstrak yang tak bisa dipahami, karena melulu dikasih doktrin oleh pihak guru dan sekolah. Tapi, konsepsi belajar sudah berubah menjadi suatu kenikmatan yang mesti dilakukan sepanjang hayat dikandung badan.
Di masa depan, komunitas model ini punya potensi besar untuk memberikan sumbangsih nyata dalam menghasilkan sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, dan sadar akan potensi diri. Konsep ini lebih membumi, karena memberikan ruang dalam mengakomodasi upaya pemecahan masalah masyarakat setempat lewat layanan pendidikan yang diberikan. Siswa sendiri berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing. Guru benar-benar berperan menjadi mitra belajar.
Tak heran jika sudah banyak karya yang dihasilkan para siswa QT. Sejumlah novel, film dokumenter, komik, mampu diproduksi oleh para siswa QT. Fakta yang paling menarik dari komunitas ini adalah, prinsip bahwa belajar itu hukumnya wajib, bersekolah itu mubah saja. Apalagi, jika bersekolah hanya sekadar untuk mendapatkan selembar ijazah.
“Saya jamin kalau anak-anak ini belajar di sekolah, mereka pasti tak akan memiliki ruang untuk berkreasi,” ujar Pak Din sambil menunjukkan komik karya salah satu siswa QT pada salah satu Dirjen, di lingkungan Kemdikbud RI di sela-sela acara seminar pendidikan.
“Lho, kok bisa begitu?” tanya Pak Dirjen.
Pak Din dengan santai menyahut, “Karena di sekolah tidak ada ujian nasional bikin komik, pastinya kesempatan anak untuk mengembangkan bakatnya pasti terbatas!”
Pak Dirjen hanya tersenyum simpul. Entah menyiratkan ungkapan setuju atau tidak dengan pernyataan Pak Din. Hanya Pak Dirjen dan Tuhan saja yang tahu.
Satu desa punya satu komunitas belajar seperti ini, bayangkan jika ribuan desa lainnya di negeri tercinta ini punya komunitas layaknya QT. Ada ribuan produk lokal yang bisa dikemas secara kreatif, ada ribuan sumber daya manusia desa yang mampu mengeskplorasi potensi diri. Itu artinya, banyak persoalan bangsa bisa diselesaikan dengan cara ini. Tak ada lagi rombongan orang desa yang pindah ke kota. Mereka sadar, potensi desa terlalu sayang jika tak dikelola dengan baik.
Apa artinya sumber daya alam yang melimpah, jika sumber daya manusianya tak berdaya karena tak punya kompetensi untuk mengelolanya. Pendidikan, proses "memanusiakan manusia", jadi jalan pilihan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang mampu menguasai IPTEK, sekaligus memiliki "kendali diri" untuk menjadikan segala urusan menjadi maslahat bagi banyak orang.
Akhirnya kita sampai di akhir tulisan. Saya sudah yakin, mana yang wajib di antara pilihan untuk bersekolah atau belajar. Bagaimana dengan Anda? Mana yang wajib, bersekolah atau belajar? Jika mau kejar titel dan ijazah, wajib sekolah dong. Mau adu prestise? Sekolah pasti masih bisa berikan jaminan. Tapi kalau soal ingin selamat dunia akhirat, fokuslah belajar untuk mencari ilmu. Belajar itu wajib. Tapi kalau bicara belajar di sekolah, itu soal pilihan saja.
Asep Sapa'at
Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa