Rabu 17 Oct 2012 16:54 WIB

Cara Menyenangkan Belajar Sejarah

Rep: Andi Nur Aminah/ Red: M Irwan Ariefyanto
Situs bersejarah Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Foto: Thomaspm.wordpress.com
Situs bersejarah Bung Karno di Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu ketika, saat pelajaran Sejarah tengah berlangsung di sebuah kelas, ada seorang guru bertanya kepada muridnya, “Kapan Perang Diponegoro terjadi?” tanyanya. Beberapa siswa sontak mengacungkan tangan. Sang guru kemudian menunjuk salah satunya. Dengan lantang, siswa yang ditunjuk tersebut menyahut, “Habis Maghrib, Pak!”

Di waktu yang berbeda, masih terkait Perang Diponegoro, sang guru bertanya, “Setelah melakukan gerilya dengan pasukannya, Diponegoro kemudian melarikan diri ke ...?” Jawaban yang terlontar dari siswa pun di luar perkiraan. Dengan suara lantang, keluarlah jawaban, “Ketakutan.” 

Kontan saja, kelas riuh dengan gelak tawa. Guru yang bertanya pun bengong sesaat. Kemudian, dia menenangkan siswanya dengan nada membentak. Ini bukan sekadar anekdot. Cerita ini disampaikan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi.

Menurutnya, saat ini generasi muda sangat kreatif, berpikiran lebih bebas, dan terbuka. Karenanya, metode pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa agar lebih menyenangkan, tidak membosankan. Tentu saja, agar jawaban serupa “habis Maghrib” dan “ketakutan” itu tidak muncul lagi. 

Jawaban spontan dari siswa, seperti kisah di atas, bukan mengartikan bahwa mereka tak tahu jawabannya. Justru karena jawaban yang sudah ada itu cenderung membuat siswa jenuh dan mencari cara lain agar lebih enjoy.  “Mereka tahu, Perang Diponegoro terjadi pada 1825-1830. Tapi, saking detilnya, muncullah jawaban sehabis Maghrib tadi,” ujar Susanto sambil  tertawa. Pelajaran Sejarah yang berisi banyak hafalan dan menyediakan jawaban tampaknya memang perlu disikapi dengan lebih bijak agar materinya bisa lebih mudah terekam oleh siswa. 

Susanto yang juga staf ahli Menteri Pertahanan itu tidak sepakat dengan pernyataan bahwa pelajaran Sejarah bukan hal yang menarik. Sebaliknya, Susanto menilai, pelajaran Sejarah justru pelajaran yang penuh pesona. Menurutnya, masa lalu selalu menarik. “Kita saja yang tidak bisa mengemasnya.”

Belajar tentang masa lalu, kata Susanto, bisa menarik bila dimasukkan unsur makna dari peristiwa-peristiwa tersebut. Dia mengatakan, ada tiga sebab mengapa orang berkepentingan dengan sejarah. Pertama, orang memang ingin tahu sejarah yang penuh misteri dan memesona. Syaratnya, dia harus penasaran karena harus selalu bertanya.

Kedua, orang belajar sejarah untuk tahu pengalaman orang lain. Orang bijak tidak akan belajar dari pengalamannya sendiri, tapi dari pengalaman orang lain. Ketiga, sejarah menciptakan kelompok komunitas, kelompok kemanusiaan, dan menggugah rasa nasionalisme. Ini karena sejarah menjadikan satu kesatuan pengalaman. “Jadi, secara individu maupun kelompok, sejarah itu menarik,” kata Susanto. 

Salah satu cara untuk menjadikan pelajaran Sejarah menarik dan tidak membosankan adalah dengan kegiatan Lawatan Sejarah Nasioanal (Lasenas) X. Acara ini merupakan program tahunan Kemendikbud yang diselenggarakan oleh Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah, dan Nilai Budaya. Menurut Susanto, Lasenas adalah cara belajar sejarah yang menyenangkan. Kemasan pendidikan Sejarah dengan berkunjung langsung ke tempat-tempat bersejarah patut diapresiasi. Lasenas, kata Susanto, bisa memperkuat ingatan politik dan sejarah generasi muda dengan cara yang disukai mereka. 

Susanto mencontohkan, beberapa tahun lalu ada seorang pelajar dari Amerika yang berkujung ke Morotai. Untuk apa? Ternyata, anak tersebut ingin melihat langsung jejak peninggalan kakeknya sewaktu berperang melawan Jepang. “Karena jejak peninggalannya ada di Morotai, ribuan kilometer pun harus dia tempuh. Ini karena instruksi sejarah, ada perintah masa lalu,” ujarnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement