Rabu 07 Nov 2012 14:49 WIB

Ketika Guru Bertafakur

Ilustrasi 'ketika guru bertafakur'
Foto: vimeo.com
Ilustrasi 'ketika guru bertafakur'

"Menjadi Guru, Untuk Apa?" judul tulisan yang dirilis 11 Januari 2012 silam di EduAction Republika Online. Tak dinyana, cukup banyak respon dari pembaca mengomentari tulisan itu. Satu dari sekian respon pembaca menarik perhatian saya karena diekspos di halaman blog pribadinya, Agsa’s Blog: Things are not what they seem; seeing through the facades of social structures! Agus Santosa, nama pemilik blog tersebut, seorang guru SMAN 3 Yogyakarta yang sudah berkarya lebih dari 20 tahun menjadi guru. 

“Bukan karena saya guru sehingga tertarik oleh tulisan ini. Tapi memang judul tulisan ini benar-benar menarik. Menjadi guru untuk apa? Saya sendiri yang telah lebih dari 20 tahun menjadi guru, belum satu kali pun bertanya pada diri sendiri, apalagi kepada orang lain, menjadi guru untuk apa. Dan, tulisan Asep Sapa’at, Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa, di Republika 11 Januari 2012 ini memang benar-benar menginspirasi saya untuk setidaknya merenung-renung, untuk apa saya menjadi guru. Atau, bahkan saya berpikir bahwa saya ini guru tapi tampaknya bukan guru, atau tampaknya guru, tapi jangan-jangan saya ini bukan guru,” urai Pak Agus di blog pribadinya. 

Salut buat Pak Agus Santosa. Beliau sudah bertafakur untuk berpikir. Berapa banyak guru yang suka bertafakur untuk berpikir? Hanya guru itu sendiri dan Tuhannya saja yang tahu.

Tapi kalau berpikir untuk bertafakur, mungkin banyak. Lho kok bisa tahu? Ya, namanya juga berpikir untuk bertafakur. Terlintas saja dalam pikiran untuk mau bertafakur, itu sudah berpikir untuk bertafakur. Jadi, apakah guru tersebut sudah bertafakur? Tentu saja belum karena masih taraf berpikir untuk bertafakur. Kalau bukan karena kesungguhan, berat rasanya bagi guru bisa merealisasikan apa yang ada di pikirannya, mau sekaligus mampu bertafakur.

Mengapa guru perlu bertafakur? Pertanyaannya amat sederhana. Jawabannya? Jelas tak sesederhana yang dibayangkan atau sekadar asal bunyi (asbun) menjawab saja. Semakin asbun jawabannya, ini bisa menunjukkan orang itu tak punya prinsip dalam menjalani kehidupan sebagai seorang guru.

Tafakur itu artinya renungan; Perenungan; 2 perihal merenung, memikirkan, atau menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh; 3 pengheningan cipta (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php). 

Guru yang jarang bertafakur, dikhawatirkan kehilangan orientasi dan prinsip hidup. Bahayanya, guru tak punya tujuan hidup. Gagal jadi guru dianggap sudah nasib. Padahal, bisa jadi seorang guru tak pernah punya tujuan hidup yang jelas dan tak sungguh-sungguh mengejar cita-cita hidupnya. Jika ada guru yang merasa hidupnya tak sukses dan bahagia, stop salahkan orang lain, bertafakurlah. Segera bertanya pada diri, apakah kita punya tujuan hidup? Apa tujuan hidup kita sebagai guru? 

Mari sejenak kita tafakuri hasil survei yang pernah dilakukan The Harvard MBA Program terhadap lulusan barunya (fresh graduate) pada tahun 1979. Pewawancara bertanya pada lulusan tersebut, “Apakah Anda menetapkan sasaran yang jelas tertulis untuk masa depan Anda dan rencana dibuat agar sasaran Anda tercapai?” Hasil survei menemukan bahwa 84% lulusan tidak memiliki tujuan spesifik sama sekali, 13% memiliki tujuan tapi mereka tidak berkomitmen menuliskannya, dan 3% memiliki sasaran yang jelas tertulis sekaligus rencana untuk mencapai tujuan mereka tersebut. 

Pada tahun 1989, para pewawancara melakukan wawancara kembali terhadap subjek yang sama. Hasilnya sangat menakjubkan. 13% lulusan yang memiliki tujuan hidup yang jelas rata-rata memiliki penghasilan 2 kali lipat dari 84% lulusan yang tidak memiliki tujuan sama sekali. Bahkan lebih mengejutkan, 3% lulusan dengan sasaran hidup yang jelas tertulis, mereka rata-rata memiliki penghasilan 10 kali lipat dari 97% lulusan lainnya (84% lulusan tak punya tujuan dan 13% lulusan memiliki tujuan tapi tidak tertulis).

Apa hikmah yang mesti disibak guru dari hasil survei tersebut? Bertafakurlah. Guru itu wajib punya tujuan hidup yang jelas. Karena tak ada keberhasilan dan kebahagiaan yang bisa diraih tanpa tujuan yang jelas.

Jika guru tak paham untuk apa menjadi guru, orang bijak bilang itu namanya benar dalam kesesatan. Ciri orang tersesat itu selalu bingung dan linglung sendiri. Jika guru sesat, maka murid dan lingkungan bisa rusak, waspadalah.

Bertafakurlah, mengapa kita menjadi guru? Bertafakurlah, untuk apa menjadi guru? Bertafakurlah, mengapa kita tak pernah merasa bahagia menjadi guru? Bertafakurlah, apakah menjadi guru hanya sekadar untuk mencari sesuap nasi ataukah karena panggilan jiwa? Selalu luangkan waktu untuk berbincang dengan diri sendiri, lalu bertafakurlah.

Guru kehidupan saya pernah berujar, “Jika tak tahu kemana pergi, tiap simpang jalan akan menggaet Anda. Jika tak tahu kemana kapal berlayar, tak ada angin yang bisa membantu. Jika tak tahu mengapa jadi guru, maka dimanapun berada, Anda tak pernah tahu siapa diri Anda”. Wahai guru, bertafakurlah.

Asep Sapa'at

Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement