REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyambut baik pembubaran SBI dan RSBI.
Soalnya, berdasarkan fakta di lapangan, implementasi program SBI dan RSBI di sekolah sangat diskriminatif dan tidak sejalan dengan idealisasinya.
"Banyak anak berbakat tersisihkan karena tak memiliki sumber ekonomi yang cukup," tutur Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, Asrorun Ni'am Sholeh, di Jakarta, Rabu (9/1).
Ni'am menyambut baik putusan MK yang membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang menjadi landasan RSBI/SBI.
Padahal, jelas Ni'am, RSBI seharusnya memberikan afirmasi bagi warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Untuk itu KPAI mengusulkan pemerintah mendirikan sekolah khusus anak berbakat dan berpotensi, untuk menggantikan RSBI.
Sebagai bagian dari perlindungan anak dalam memberikan pendidikan khusus bagi anak-anak potensial, KPAI berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh segera membereskan penyimpangan dalam praktek RSBI.
"KPAI mengingatkan pada Mendikbud berkomitmen untuk menyediakan Pendidikan Khusus bagi anak-anak cerdas dan berbakat istimewa," cetus Ni'am.
Ni'am menjelaskan permintaan itu sebagai bagian dari pemenuhan hak anak dalam UU Perlindungan Anak, khususnya Pasal 9 ayat (2), yang berbunyi, 'Bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus'.
Serta Pasal 5 UU Sisdiknas ayat (4) yang menyatakan, 'Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus'.
"Selayaknya anak-anak dalam klasifikasi itu, terutama dari kelompok masyarakat marjinal, harus diberikan akses lebih agar terjadi mobilitas vertikal secara berkeadilan," tegas Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini.