REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan dari Education Forum, Suparman, mengatakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) akan tetap diwarnai kecurangan selama hasilnya menjadi syarat kelulusan siswa.
"Selama UN masih menjadi syarat kelulusan dan tidak menghargai proses belajar maka selama itu pula akan ada usaha untuk melakukan kecurangan," kata Suparman dihubungi Jumat (12/4).
Menurut Suparman ditetapkannya UN sebagai syarat kelulusan akan membuat siswa atau panitia penyelenggara dalam hal ini pihak sekolah akan terus melakukan cara apapun agar dapat lulus UN.
"Cara apapun mungkin saja akan dilakukan dan beragam cara untuk membendung kecurangan akan selalu diikuti dengan beragam cara untuk menyiasati jawaban UN," kata dia.
Karena itu, Suparman menuturkan, perlu ada reposisi UN. Ia menyarankan sebaiknya UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan. "UN jangan lagi menjadi syarat kelulusan. Peserta didik justru akan terbangun kejujurannya melalui pendidikan proses," tuturnya.
Ia menyarankan agar UN menjadi alat pemetaan potensi siswa dan kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikan/sekolah dengan melakukan penilaian terhadap proses belajar secara menyeluruh termasuk penilaian portofolio murid.
Lebih lanjut Suparman menyebut variasi 20 jenis soal UN yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bukanlah langkah antisipasi mengatasi kecurangan dalam UN, tapi justru kemunduran dalam pengelolaan pendidikan.
"Karena variasi itu mencoba memaksakan keseragaman anak dalam membangun kejujuran, yaitu dengan paksaan," tuturnya.
Menurut Suparman yang dibutuhkan bukanlah variasi soal UN, namun variasi untuk memetakan keragaman potensi anak.
"Jika ingin membangun dan menilai kejujuran anak didik haruslah dilakukan dlm sebuah proses pendidikan yang panjang dan bukan dengan cara yang memaksa. Menjadikan UN sebagai cara untuk membentuk kejujuran anak adalah bentuk pembelajaran kejujuran yang dipaksakan," katanya.