Senin 06 May 2013 13:57 WIB

Kreativitas Daeng Beta

Asep Sapa'at bersama Daeng Beta
Foto: dokpri
Asep Sapa'at bersama Daeng Beta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa’at

Menjadi orang kreatif bukanlah monopoli orang-orang tertentu. Siapa saja bisa menjadi orang kreatif asal tahu caranya. Daeng Beta, orang kreatif yang tahu cara mengeksplorasi sisi-sisi kreativitas dalam dirinya. Siapa beliau? Joyce Wycoff berujar, “Orang-orang kreatif tidak takut menyatakan pemikiran dan perasaannya. Mereka mau menjadi dirinya sendiri”. Daeng Beta, orang yang punya komitmen menemukenali potensi unik diri melalui karya lukisan.

Daeng Beta, tipe orang yang ramah, terbuka, bersahaja, dan tampak selalu antusias melayani para tamu yang ingin tahu lebih dalam soal lukisan tanah liat. Pernah dengar istilah ‘lukisan tanah liat’? Jujur, saya baru dengar istilah itu. Rasa ingin tahu saya sontak terpuaskan melihat semua pajangan karya lukis Daeng Beta yang disimpan di Fort Rotterdam Gallery, salah satu sudut di museum wisata Fort Rotterdam di Makasar. Semuanya tentang karya lukis tanah liat yang beliau ciptakan.

Terlintas kenangan saat mengisi sesi traning bagi guru-guru di berbagai daerah di nusantara, terbentang dari mulai barat sampai timur Indonesia. “Tolong buat gambar pemandangan dalam waktu 30 detik saja!”, instruksi standar yang selalu diberikan kepada para guru. Coba tebak apa hasilnya? Hampir sebagian besar memproduksi gambar yang relatif sama. Unsur gambar yang tampak dominan muncul mendeskripsikan dua buah gunung, awan, jalan raya, sawah, matahari, pohon kelapa, dan beberapa burung yang sedang terbang di bawah awan. Kok hasil menggambar hampir sebagian besar guru bisa sama, mungkinkah mereka diajari guru yang sama? “Tak mungkin”, kata hati saya berbisik.

Saya yakin, setiap guru yang menggambarkan unsur pemandangan yang relatif sama tak diajari guru yang sama. Namun mengapa hasil gambarnya bisa relatif sama? Saya sempat penasaran ingin tanyakan hal itu pada Daeng Beta, namun niat itu tak kesampaian saat beliau membuyarkan lamunan saya ketika berkata dengan lugas, “Saya harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan bahwa kreativitas dari tanah liat ini termasuk kategori lukisan”.

Wah luar biasa, saya semakin kagum dibuatnya. Dan perlu waktu beberapa tahun untuk bersabar sebelum akhirnya Almarhum Affandi, sang pelukis yang melegenda namanya di Indonesia, memberikan pengesahan bahwa produk hasil lukisan tanah liat termasuk kategori lukisan. Perjuangan yang mengagumkan.

 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk mencipta atau daya cipta atau perihal berkreasi. Bukan persoalan mudah untuk mengasah kreativitas yang dimiliki. Kemauan yang kuat untuk melakukan eskplorasi kreatif jadi modal dasar untuk mengembangkan kreativitas diri. Sabar untuk tetap berkreasi meski miskin apresiasi. Setidaknya, hal itu pernah dialami Daeng Beta.

“Orang-orang asing jauh lebih menghargai hasil karya lukisan saya ketimbang orang sendiri. Bahkan ada peneliti dari Belanda, Jerman, & beberapa negara Eropa sengaja melakukan riset tentang lukisan tanah liat. Hasil kesimpulan mereka, lukisan tanah liat merupakan sebuah inovasi”. Mendengar curahan hati Daeng, remuk redam hati saya. Seperti biasa, pemerintah kita kurang sensitif dalam menghargai karya orisinal anak bangsa. Giliran sudah mendapat klaim dari bangsa lain, baru kita kebakaran jenggot. Memilukan.

 “Kreativitas adalah sebuah persoalan pribadi. Kreativitas merupakan proses pencarian ke dalam diri sendiri yang penuh tumpukan kenangan, pikiran, dan sensasi hingga  ke sifat yang paling mendasar bagi kehidupan”, ungkap Murray Louis. Entah kapan Daeng Beta mulai melukis dengan tanah liat, saya tak sempat tanyakan hal itu. Tapi, ketika beliau langsung mendemonstrasikan cara melukis di atas sebuah kanvas berukuran kira-kira 30 x 30 cm, hanya dalam waktu kurang dari 1 menit saja, sebuah lukisan indah rumah khas orang Toraja langsung bisa dinikmati para pengunjung. Ini baru disebut kompetensi.

Tak semata menguasai teori tentang melukis tanah liat, tapi mampu hasilkan lukisan tanah liat dengan cara & hasil yang indah. Bahkan, Daeng Beta sudah bisa menemukan & mengkreasi bahan sendiri untuk menghasilkan lukisan yang super indah dari tanah liat.

Dari situasi ini, kita bisa petik satu pelajaran penting, menjadi orang kreatif dengan produk kreativitas berkualitas hanya bisa dilakukan dalam waktu yang relatif panjang. Dengan kata lain, cara itu yang kita kenal sebagai upaya membangun reputasi. Waktu 1 menit yang didemonstrasikan Daeng Beta, mustahil bisa dilakukan tanpa latihan yang konsisten. Bahkan, ada sebuah lukisan perahu pinisi yang saya taksir, harganya bisa mencapai 5 juta rupiah. Harga yang pantas untuk menghargai sebuah proses perjalanan panjang mencari bentuk kreativitas tingkat tinggi.

Sebelum berpamitan, saya sampaikan ucapan terima kasih yang tulus karena telah mendapat pelajaran teramat mahal tentang makna terdalam dari kata ‘kreativitas’. 2 jempol ini saya acungkan untuk karya-karya hebatnya. Ketika kaki melangkah menjauh dari galeri Daeng Beta, pikiran saya kembali menerawang, apakah sistem sekolah kita mampu memberikan ruang kreativitas bagi murid-murid kreatif? Siapa guru inspiratif yang mampu menggerakkan Daeng Beta untuk jadi insan kreatif saat ini? Apa yang harus dilakukan dunia pendidikan agar mampu melahirkan murid-murid kreatif?

Tulisan ‘Do Schools Kill Creativity?’ milik Sir Ken Robinson di Huffington Post & buku Mas Hernowo tentang ‘Menjadi Guru yang Mau & Mampu Mengajar Secara Kreatif’ akan menjadi referensi saya untuk menjawab 3 pertanyaan di atas. Simak tulisannya di edisi pekan depan.

Praktisi Pendidikan,

Direktur Sekolah Guru Indonesia

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement