REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa’at
Saya sangat terkesan dengan sebuah kajian dari Sir Ken Robinson, ‘Do Schools Kill Creativity?’ Sir Ken Robinson pernah berujar, “Sistem pendidikan kita seperti pabrik." Ia secara gamblang mengungkap fenomena yang bisa jadi luput dari perhatian kita. Fenomena apakah itu? Sistem persekolahan hanya mengajarkan pengetahuan yang bersifat text-book semata.
Sistem persekolahan telah membangun paradigma orang untuk berpikir bahwa pelajaran paling top adalah matematika dan bahasa. Pelajaran seni ada di posisi paling buncit. “Something strikes you when you travel around the world: Every education system on Earth has the same hierarchy of subjects”, ujar Sir Ken Robinson lugas.
Jika kita tanya lagi Sir Ken Robinson, “Di sekolah mana saja pengekangan kreativitas itu telah terjadi?”. Ia akan bilang, “Everywhere on earth”.
Bicara pelajaran seni, masih ingat dengan sosok Daeng Beta? Pelukis tanah liat dari Makasar yang sudah mendapat pengakuan dari Affandi, Mr. Davil dari University California Amerika Serikat, dan Miss Amanda dari Belanda. Pendidikan terakhir beliau hanya SMP. Cita-cita sejak masa kecilnya memang jadi pelukis terkenal.
Apa kata Daeng Beta soal kreativitas berkarya seni? “Pelajaran akademik saja tak cukup untuk mengembangkan diri para murid. Sekolah harus punya sistem untuk mengembangkan bakat-bakat seni”. Pesan penting untuk sekolah dalam mengembangkan kreativitas dashyat milik para murid.
Apa yang terjadi di sekolah kita saat ini? Apakah sekolah sungguh-sungguh mengembangkan atau malah mengekang kreativitas murid? Saya tak habis pikir jika hari ini orang yang unggul di satu atau dua mata pelajaran, dibuat kesan hebat sekali. Kita lebih menghargai murid yang baru menggondol juara lomba matematika atau sains ketimbang murid yang juara lomba melukis. Atas nama prestise, murid yang berprestasi secara akademik lebih dinomorsatukan daripada murid yang unggul di bidang non-akademik. Alasannya karena ini bisa mendongkrak nama baik sekolah.
Perlakuan berbeda ini yang bisa menguatkan anggapan prestasi akademik lebih penting daripada prestasi non-akademik. Coba cermati, di sekolah mana kita bisa temukan jam pelajaran olahraga dan seni, misalnya, lebih banyak jumlah jam pelajarannya daripada pelajaran matematika atau sains? Kalau ada pihak sekolah yang jawab, “kan soal pengembangan bakat minat ada di program ekstrakurikuler”.
Benarkah program ekstrakurikuler dikelola serius dan profesional? Jangan-jangan hanya sekadar ada saja. Pelatih ekstrakurikuler asal comot orang, bukan sosok ahli. Anggaran untuk kegiatan sedikit atau bahkan tak ada. Kalau sudah begini, keseriusan untuk mengembangkan kreativitas & bakat murid memang masih isap jempol semata.
Kreativitas hanya akan berkembang di lingkungan yang mengedepankan suasana kebebasan untuk berekspresi, menuangkan ide, tak ada perasaan takut untuk mencoba sesuatu. ‘Awas jangan salah’, kata paling manjur membuat murid kehilangan keberanian untuk mencoba banyak hal. Kreativitas hanya milik orang-orang yang berani melakukan kesalahan untuk belajar sesuatu. Jika kita sudah tak punya keberanian untuk berkreasi karena takut salah, ucapkan saja, “Selamat tinggal kreativitas”.
Andai Ujian Nasional juga mengujikan kreativitas murid di bidang seni dan olahraga, saya harus angkat dua jempol untuk pemerintah. Ada 2 makna tersirat. Pertama, ‘pemerintah memang kreatif’ meski bakal ada perdebatan dahsyat untuk menguji keabsahan soal kreativitas pemerintah tersebut.
Kedua, pemerintah tegas sampaikan pesan bahwa kompetensi & kreativitas murid dalam berbagai aspek kehidupan akademik dan non-akademik layak diapresiasi. Yang terjadi, ketika Pak Din, sang pendiri sekolah komunitas Qaryah Thayyibah di Salatiga, setengah bercanda beliau berkata pada salah satu Dirjen di lingkungan Kemdikbud, “Pak Dirjen, coba ada ujian nasional membuat komik, beri kesempatan anak-anak tersebut tunjukkan kepiawaiannya. Biar kita tahu mereka juga sama hebatnya dengan teman-teman lainnya yang jago matematika dan sains. Bagaimana Pak?” Pak Dirjen hanya setengah mengangguk, tersenyum simpul, dan tak beri jawaban. Biarkan saja hal ini masih jadi misteri sampai beberapa tahun mendatang.
Saya coba menebak-nebak, kira-kira di masa sekolahnya, Daeng Beta sosok seperti apa ya? Dugaan saya, beliau tak nyaman hidup di sekolah yang tak pernah punya acara pameran seni lukis, dan tak pernah hadirkan pelukis untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan murid –murid yang punya bakat melukis. Beliau pasti amat kewalahan hadapi guru yang wajibkan muridnya hanya punya satu jawaban, seragam dan tak boleh beda. Kreativitasnya siap-siap terkubur. Mengapa demikian? Saya temukan jawabannya di artikel ‘Creativity: Asset or Burden in the Classroom?’ Ada fakta menarik yang layak diungkap.
Guru tak menyukai kepribadian murid yang berhubungan dengan kreativitas. Hasil riset menunjukkan bahwa guru cenderung memiliki sifat yang bertentangan dengan kreativitas, seperti keteraturan dan patuh pada kewenangan (Bachtold, 1974; Cropley, 1992; Dettmer, 1981; Getzels & Jackson, 1962; Torrance, 1963). Tegasnya, guru tak suka murid berkepribadian seorang kreatif sejati. Kalau saya pinjam istilah Pak Rhenald Kasali, istilah bagi guru yang kaku pada aturan disebut guru kurikulum.
Nah, guru kurikulum punya penilaian siapa yang layak disebut murid favorit. Siapa itu murid favorit? Murid favorit itu murid yang manut, tak berani nyatakan silang pendapat, dan tabu mengkritisi bahkan untuk meluruskan kekeliruan gurunya. Guru kurikulum suka sekali murid favorit meski akhirnya bisa jadi murid itu lahir sebagai sosok tak kreatif.
Murid yang suka keluar dari pakem, berani ambil resiko, suka sekali mengeksplorasi sesuatu, relatif tak disukai guru kurikulum. Tak ada tempat bagi murid yang berpikir out of the box. Murid ini sangat diwaspadai guru kurikulum yang tak suka standar yang ditetapkannya mesti diubah dan disesuaikan.
Maaf jika saya punya sudut pandang yang berbeda dengan pembaca sekalian. Saya harus mengucapkan selamat kepada Daeng Beta karena meninggalkan bangku sekolah lebih awal. Memang ironi, sekolah yang mestinya jadi tempat lahirnya insan-insan kreatif malah cenderung memasung kreativitas.
Guru, sebenarnya memegang peranan kunci dan bisa berkontribusi lahirkan murid kreatif. Namun, apa mungkin murid bisa kreatif jika gurunya ogah mulai untuk mendidik dengan cara-cara kreatif? Jadi, sekali lagi, selamat atas langkah hebat yang sudah dilakukan Daeng Beta. Teruslah berkarya sebagai pelukis tanah liat kebanggaan Indonesia.
Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Direktur Sekolah Guru Indonesia