REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
Seorang kawan mengurai cerita, "Baca soalnya, pegang dan rasakan pilihan jawaban yang tersedia di atas kertas. Jika terasa hangat, tak usah ragu, langsung saja pilih opsi jawaban itu". Kawan lain tak kalah semangatnya berseru, "Gampang saja untuk bisa selesaikan soal pilihan ganda (PG), hitung kancing saja, begitu saja kok repot".
"Soal PG ibarat teka-teki berhadiah, hadiahnya ya angka ujian kita bagus atau jelek", ujar teman lainnya di satu situasi diskusi santai.
Mendengar kata 'PG', apa yang ada di benak Anda? Objektif, tebak-tebakan, gampang-gampang susah, susah-susah gampang, atau entah kata apa lagi yang bisa merepresentasikan gambaran makna di balik kata 'PG'. Bagi saya, kata PG punya banyak makna.
Tes objektif adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir soal yang dapat dijawab oleh penjawab dengan jalan memilih salah satu jawaban di antara beberapa kemungkinan jawaban. Tes PG termasuk alat tes objektif. Alat tes objektif lain yang bisa digunakan dalam mengevaluasi hasil belajar, di antaranya: 1) Tes objektif bentuk benar-salah (True-False Test); 2) Tes objektif bentuk menjodohkan (Matching Test); 3) Tes objektif bentuk melengkapi (Completion Test); 4) Tes objektif bentuk isian (Fill in Test).
Tes PG memiliki semua persyaratan sebagai alat tes yang baik, dilihat dari segi objektivitas, reliabilitas, dan daya pembeda antara siswa yang berhasil dan siswa yang gagal. Hal lain yang menjadi keunggulan tes PG karena penskorannya cepat, mudah, objektif. Berbagai jenjang kognitif dapat diukur dengan tes PG, dan tes ini dapat digunakan untuk situasi yang jumlah pesertanya banyak dan hasilnya bisa segera diumumkan, seperti ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.
Ingat dan pahami pula bahwa tes objektif bentuk PG punya sisi lemah, yaitu: (1) kurang dapat digunakan untuk kemampuan verbal; (2) murid tidak mempunyai keleluasaan dalam menulis, mengorganisasikan, dan mengekspresikan gagasan yang mereka miliki yang dituangkan dalam kata atau kalimatnya sendiri; (3) tidak dapat digunakan untuk mengukur kemampuan problem solving, (4) penyusunan soal yang baik memerlukan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan bentuk soal lainnya, (5) sangat sukar menentukan alternatif jawaban yang benar-benar homogen, logis dan berfungsi.
Yang perlu ditelisik secara mendalam, apakah si pembuat tes paham plus minus penggunaan tes PG? Untuk apa, untuk siapa, dan kapan waktu terbaik menggunakan tes pillihan ganda?
Sebagai guru, kita harus punya sikap kritis dan hati-hati dalam menggunakan tes pilihan ganda. Apa sebab? Tak mudah membuat soal pilihan ganda. Kita mesti memerhatikan prosedur pembuatan soal yang baik. Ada tahapan proses yang menuntut ketelitian tingkat tinggi. Apalagi kalau bicara soal reliabilitas dan daya pembeda bagi murid, sesuatu yang tak boleh diremehkan. Salah menafsirkan kemampuan murid, perkaranya amat membahayakan. Murid bisa salah menilai diri dan kemampuannya.
Bisa jadi guru malah berkontribusi dalam perencanaan masa depan murid yang keliru. Bukankah perkara merencanakan masa depan adalah soal yang amat penting? Hati-hatilah dalam menilai kemampuan murid.
Dalam situasi ideal, tes PG bisa mencerminkan hasil belajar murid dari aspek kognitif saja. Catat, hanya aspek kognitif saja. Baru satu aspek hasil belajar yang dievaluasi pada diri murid. Artinya, secara kasat mata, mungkin kita sudah bisa melihat tingkat penguasaan murid terhadap materi ajar. Tapi, kita belum bisa yakin sepenuhnya, apakah murid tersebut bisa praktikkan pengetahuannya dalam kehidupan keseharian?
Apalagi kalau bicara soal perilaku, masih perlu pembuktian, apakah ada kesesuaian antara tingkat penguasaan materi dengan sikap hidup murid? Harapannya, semakin tinggi tingkat penguasaan murid terhadap materi ajar, maka perilaku yang ditunjukkan semakin baik dan sesuai dengan pengetahuan yang dikuasai murid tersebut. Karena tak jarang kita temui, murid yang paling baik nilai pelajaran agama, misalnya, toh ikut pula aksi tawuran pelajar. Ironis, bukan?
Celakanya, jika saat tes, guru tak mampu cegah murid untuk mencontek, apalagi kalau ada oknum guru yang malah memberikan kunci jawaban, apalah artinya tes PG. Kita sudah pasti meragukan keabsahan jawaban murid. Jangan-jangan, murid yang tak belajar pun bisa meraih hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari murid yang rajin belajar.
Sisi keunggulan tes PG menjadi tak berarti lagi ketika murid bisa lakukan kecurangan. Jadi, guru mesti paham apa yang mesti diperbuat pada saat mengawas ujian andai kita masih berharap tes PG tetap bisa berkontribusi penting dalam konteks evaluasi hasil belajar murid.
Kalau bicara soal sisi lemah tes PG, maka guru harus lebih arif bijaksana tak hanya menggunakan tes jenis ini sepanjang waktu. Mesti ada variasi, tak paksakan diri seolah-olah hanya dengan cara ini murid bisa dievaluasi hasil belajarnya. Masih banyak metode dan alat evaluasi yang benar-benar bisa fasilitasi pengembangan kemampuan murid secara utuh, baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Tes PG tak bisa memfasilitasi proses pengembangan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah secara optimal. Murid tentukan pilihan jawaban bukan karena paham, tapi daripada tak diisi. Mereka jadi malas berpikir, plin-plan, peragu, dan tak pernah matang dalam mengambil keputusan.
Jawaban bukan berdasarkan keyakinan yang didahului proses analisis berpikir. Kita tak pernah ingin melahirkan generasi yang lemah bernalar dan tak hargai proses belajar mencari hakikat kebenaran. Hal paling serius yang musti dicermati oleh kita bersama. Persoalannya, sadarkah orangtua dan guru akan realitas ini?
Albert Einstein pernah berujar, "Tak semua yang dapat dihitung itu berharga. Dan, tak semua yang berharga dapat dihitung". Tes PG, sesuatu yang bisa dihitung. Apakah berharga? Ya, jika disusun sesuai kaidah yang tepat dan proses tesnya tak dinodai perilaku curang. Namun jangan lupakan satu hal, nilai-nilai kehidupan –kejujuran, kerja keras, keuletan, dsb-- tetap harus menjadi yang utama dalam setiap proses pendidikan yang terjadi, tak terkecuali dalam mengerjakan soal tes PG.
Mengapa Anda menggunakan tes PG? Bagaimana cara membuat soal tes PG yang baik? Maaf, ini bukan soal PG. Silahkan berpikir, temukan jawabannya. Tak ada buku apa pun yang bisa jelaskan cara berpikir kita, maka jangan pernah berhenti berpikir. Ketajaman nalar dan sikap tanggung jawab dalam menyajikan jawaban, hal teramat penting dan berharga yang kerap disepelekan banyak orang, termasuk sistem pendidikan kita yang tengah berlaku saat ini.