REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)
Sukses dan gagal, itulah dinamika kehidupan. Murid yang selalu juara kelas diprediksi punya masa depan cerah, eh ternyata jadi orang biasa saja. Yang naas, tersungkur karena perilaku buruknya. Sebaliknya, murid yang terlanjur dicap 'biang kerok' di sekolah, malah berhasil dalam kehidupan.
Dia pimpin perusahaan, membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang, dan tunjukkan pribadi baik yang menjungkirbalikkan prediksi banyak orang. Inilah lakon kehidupan. Lantas, apa itu makna hakiki kesuksesan? Benarkah sukses hanya untuk orang ber-IQ tinggi? Bagaimana nasib orang ber-IQ rata-rata dan rendah?
Dulu, kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient) dianggap sesuatu yang amat istimewadalam episode kesuksesan seseorang. Seolah-olah, orang ber-IQ hebat sudah dapat garansi bakalsukses. Dalam sudut pandang berbeda, Spencer and Spencer (1993) dan Daniel Goleman (1998) menyatakan bahwa justru kecerdasan emosional (Emotional Intelligences, EI) yang sangat berpengaruh dalam kesuksesan seseorang.
Bagi siapa saja, apapun profesi dan posisi jabatan di pekerjaannya, EQ berkontribusi 66persen dan IQ hanya punya kontribusi sebesar 33 persen saja. Khusus untuk orang di posisi manajerial, EQ tetap punya kontribusi lebih besar daripada IQ. EQ dan IQ secara berturut-turutmenyumbang kontribusi 85 persen dan 15 persen.
Coba cermati pula nilai EI dalam konteks hubungan antara produktivitas dan kompleksitas pekerjaan. Di pekerjaan kategori rendah (Jenis pekerjaan teknis, misal, operator mesin dan office boy), orang bernilai EI tinggi lebih produktif 3 kali lipat daripada orang bernilai EI rendah. Orang bernilai EI tinggi lebih produktif 12 kali lipat dibanding orang bernilai EI rendah, hal ini berlaku di jenis pekerjaaan menengah (Misal, sales dan mekanik). Bagaimana kabar dari posisi pekerjaan kategori tinggi, seperti dokter dan konsultan? Setali tiga uang. Orang bernilai EI tinggi lebih produktif 127 kali lipat dibanding orang bernilai EI rendah. Kemauan dan kemampuan meningkatkan nilai EI, pembeda di antara orang-orang cerdas emosional.
Apa itu kecerdasan emosional? Keterampilan agar bisa 'sadar diri' dan mampu berikan manfaat dan kebahagiaan bagi orang lain. Itu menurut pemikiran saya. Tapi, berdasarkan kajianDaniel Goleman dan Hay Group, orang itu bisa dilatih agar punya self-awareness, self-management, social awaraness, dan relationship management. Yang menarik dari kajiantersebut, kesuksesan itu tak ditentukan faktor kemampuan diri saja (self-awareness, self-management). Kesadaran untuk menata hubungan dengan orang lain, faktor penting lain yang tak bisa disepelekan.
Ketika mendaras salah satu buku manajemen, maaf saya lupa judul bukunya. Dikisahkanada seorang presiden direktur yang mesti ambil keputusan penting. Perusahaan hampir bangkrut.Tiga asistennya yang punya kualitas jempolan tak mampu lagi dibiayai perusahaan. Satu dariketiganya punya kualitas pekerjaan dan kecerdasan yang relatif sama. Itu yang bikin sulit presiden direktur menetapkan pilihan, siapa yang mesti bertahan dan keluar.
Semua terkejut bukan kepalang karena dua orang yang tak dipilih punya hasil kerja yang paling luar biasa dan paling cerdas di antara mereka. Lantas, apa dasar sang presiden direkturdalam mengambil keputusan? Integritas, adaptif, fleksibel, pandai melakukan manajemen konflik, dan bisa menjadi bagian dari super tim. Itulah karakteristik yang kerap ditunjukkan si orang yang terpilih. Sedangkan dua orang lainnya sangat hebat sebagai individu, tapi tak mampu kelola diri agar bisa bekerja dalam tim yang super. Ya, orang yang cerdas emosional akan lebih berguna bagi perusahaan ketimbang orang yang cerdas intelektual saja.
Soal IQ, setiap orang berbeda. Ada yang anggap hal itu anugerah, tak sedikit pula yang sadari hal itu bak musibah. Semua tergantung cara berpikir saja. Anak Indonesia tak pernah absen ikuti olimpiade internasional. Medali emas selalu diraih anak-anak Indonesia. Saya salut dan angkat dua jempol untuk kehebatan anak Indonesia. Pertanyaan kritisnya, bisakah sistem pendidikan lahirkan semua anak Indonesia yang juara olimpiade? Mustahil. Maaf bukan karena saya tak punya mimpi. Tapi, setiap anak hanya bisa juara dengan potensi unik mereka masing-masing. Maka, kebahagiaan si anak menjadi muara dari segalanya.
Tapi soal kecerdasan emosional, saya selalu merasa resah. Apakah anak Indonesia mampu survive dan berikan kontribusi positif bagi Indonesia di masa depan? Apakah proses pendidikan sudah membangkitkan kesadaran para lulusannya untuk bisa cerdas emosional?Tawuran pelajar, bullying, mencontek, tak disiplin, pragmatis, hedonis, malas berpikir, mudah menyerah, plin plan, besarnya jumlah pengangguran terdidik setidaknya bisa mengabarkankepada dunia bahwa di Indonesia, kecerdasan emosional masih kalah kelas dibandingkan kecerdasan intelektual. Jika pejabat pendidikan tak 'ngeh', apalagi pura-pura tak tahu, memangkita sedang merancang kegagalan hebat buat generasi mendatang.
Masih adakah orang yang cerdas emosional, apalagi yang punya jabatan strategis?Teringat kisah perjumpaan saya dengan guru-guru di pelosok Sukabumi sekitar tiga tahun silam. Di sekolah yang geduhnya hampir ambruk, ada 10 guru yang setia mendidik murid-murid. 3 guru PNS dan 7 guru lainnya non-PNS. Kata orang, guru PNS lebih sejahtera daripada guru berstatus non-PNS. Itu berita biasa. Yang luar biasa, jika datang masa gajian, 3 guru PNS menyisihkan sebagian gajinya dan diberikan kepada 7 guru lainnya untuk sekadar membantu biaya hidup rekan sejawatnya. Saya bisa pastikan, mereka tak paham dengan konsep cerdas emosional. Andai Goleman tahu, wajar jika kisah ini menjadi salah satu contoh terbaik praktik kecerdasan emosional.
Saya kagum dan merasakan ikatan kekeluargaan yang hebat di antara mereka. Padahal jauh di negeri antah berantah, masih banyak guru-guru yang rajin menagih hak ketimbang kewajiban. Yang bikin merinding, rasa syukur tak tampak dari cara mereka menghabiskan hak yang diterima. Apalagi sempat berpikir, mesti sedetik saja, bagaimana dengan rekan guru lain yang tak jelas gajinya berapa dan diterima tak tepat waktu. Ini hanya satu kisah tentang guru yang cerdas emosional. Sayang seribu sayang, hal ini tak dikelola lewat kerja lembaga yang sistematis.
Saya sadar sepenuhnya, jarak antara Sukabumi dan Amerika Serikat jauh sekali. Konsep kecerdasan emosional lahir di Amerika Serikat. Jika hendak ditelaah, silahkan saja. Namun kalau mau dipraktikkan, tak mudah tentunya. Ada perbedaan budaya yang sangat signifikan antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Di akhir renungan, saya teringat petuah Syaikh Yusuf Makassari, "Agama adalahmengenal Allah SWT. Mengenal Allah SWT adalah berlaku dengan akhlak yg baik. Akhlak yg baik adalah menghubungkan tali silaturahmi. Dan silaturahmi adalah memasukkan rasa bahagia di hati sesama kita". Kecerdasan emosional itu menelisik hakikat diri (Darimana kita berasal, apa tujuan hidup, kemana kita akan kembali?). Dan, kesuksesan sejati itu adalah manfaat dan kebahagiaan bagi banyak orang. Saya amat senang Anda tak sepakat dengan ide saya. Karena bersedia memahami perbedaan, bukankah kita sedang melatih diri agar cerdas emosional?