Rabu 28 Aug 2013 10:34 WIB

Membincang Ranking: Menurut Siapa?

Albert Einstein dan teori relativitas
Foto: guardian
Albert Einstein dan teori relativitas

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at

(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa)

 

Albert Einstein galau ketika Perang Dunia II berkecamuk. Mungkin kita lebih baik mengajari anak-anak untuk bekerja sama dan bukannya berkompetisi memperebutkan posisi terkuat dan terbaik. Perang dunia terjadi karena kesalahan kita para orangtua yang telah mengajari, mendidik, dan melatih anak-anak untuk bersaing memperebutkan posisi terbaik dan terkuat”, ujarnya resah.

Gelar ranking satu, just only oneHanya satu kursi di singgasana. Semua murid mesti berjuang dan berebut kursi agar bisa jadi nomor wahid di kelas. Karena hanya untuk satu orang, situasi saling sikut dan sikat tak terhindarkan. Jika tak dikelola dengan baik, bukannya sikap kompetitif yang terbangun, namun tumbuhnya sikap untuk saling menghancurkan satu sama lain. Hanya demi satu tujuan, meraih gelar ranking satu.

Jika ada yang menang, pasti ada yang kalah. Banyak orang bisa memenangkan sesuatu. Tapi hanya sedikit orang yang bisa gunakan kemenangannya dengan baik. Tantangan terberat bagi si pemenang, mampukah dia tetap kendalikan diri agar tak bersikap sombong? Senang dantunjukkan sikap syukur, itu baik. Namun jika sikap arogan ditunjukkan si pemenang, sikap iri hati dan dendam akan memicu respon dari mereka yang merasa kalah. Tanpa dikomando, mereka akan menggalang barisan. Itulah ‘barisan sakit hati’. Siap merancang siasat menjatuhkan sang jawara. Maka tak dipungkiri, beragam konflik bakal terjadi.

Tak mudah untuk menjalani kehidupan sebagai pemilik ranking satu di sekolah.Setidaknya, hal itu pernah saya alami. Sikap waspada mesti selalu terjaga karena pemilik ranking dua dan tiga sewaktu-waktu siap menggoyang posisi teratas yang sudah ditempati. Jika sikap malas datang mendera, lalu gagal pertahankan prestasi belajar, bayangan kehilangan posisiranking satu seakan terbawa dalam mimpi. 

Komitmen dan konsisten memperbaiki dan mempertahankan prestasi belajar, sikap produktif yang tetap bertahan sampai hari ini. Tak mudah memang menjaga sikap komitmen dan konsisten, tapi hal ini patut terus diupayakan dan diperjuangkan. Karena hidup memang episode perjuangan.

Di sisi lain, menjaga sikap rendah hati, bukan main sulitnya. Apa sebab? Puja-puji datang silih berganti. Jika saya ikut terbuai, hidup bisa jadi lupa diri. Apalagi saat kepala sekolah dan beberapa guru memuji setinggi langit di depan teman-teman, saya bisa terbang melambung tinggi. Wualah. Rasa senang dan sombong mendesir di hati.

Tapi, kata hati menggugat, “Emang seberapa hebatnya sih kamuIngat kawan, banyak temanmu yang lebih hebat. Ini soal waktu saja. Besok lusa pun kau akan kalah”. Entah, saya sangat senang ketika bisikan hati ini sering hadir di saat pujian menyergap. Bahkan gugatan dari nurani ini saya sengaja undang untuk satu tujuan, membunuh rasa sombong dan sikap ‘merasa pandai’.

Sebagai orang di posisi ranking satu, terbukti, saya punya banyak keterbatasan.Memangnya jika sudah jadi ranking satu lantas semua tok-cer. Ketika saya jadi ranking satu, ternyata cuma pintar hadapi soal ujian. Hadapi soal dengan teman-teman dan kehidupan nyata, itu perlu cerdik. Tahu beda cerdas dan cerdik? Cerdas itu soal lahap buku. Sedang cerdik, itu soal pahami gejala kehidupan. Paham dan tahu, itu dua hal berbeda. Tahu tak perlu praktek. Cukup dengar, lihat, atau baca buku. Sedang untuk paham, musti terjun atur siasah bagaimana mengatasinya.

Ketika bertanding sepak bola di jam pelajaran olah raga, teman saya yang punya ranking bontot, lebih piawai menggocek bola dan mencetak gol. Dia bisa bangkitkan semangat tim, jiwa kepemimpinannya cukup mumpuni. Padahal soal bagaimana teknik bermain sepak bola, saya sudah lahap semua isi bukunya. Saya hanya terkesima saja. Dalam situasi berbeda, ketika disuruh melukis, teman saya yang tercecer di ranking 10 dari bawah, mampu hadirkan karya yang didaulat sebagai lukisan terbaik di antara rekan-rekan satu sekolah.

Weleh-weleh, saya yang sudah hapal isi buku tentang teknik melukis malah tak jelas apa hasil lukisannya. Dibilang lukisan abstrak bukan, mau dibilang lukisan ‘konkret’ juga tak jelas apa bentuk lukisannya. Luar biasa, meski bukan ranking satu, teman-teman ternyata lebih cerdik dari saya. Menyoal makna ‘ranking’, jangan-jangan hanya dimiliki orang-orang cerdas yang gemar lahap buku, tapi tak cerdik cermati esensi kehidupan.

Saya berusaha dan akan belajar terus untuk menjadi orang yang pandai merasakan. Andai saya jadi pemilik ranking bontot, saya pasti merasa minder. Sebagai pemilik ranking satu,mampukah saya ‘membangkitkan’ semangat dia untuk tetap belajar? Siapa pun bisa tempatiposisi ranking satu. Siapa yang bersungguh-sungguh, pastilah dia berhasil.

Tak cukup sekedar menyemangati, saya harus berbagi resep belajar paling tok-cer kepada teman-temanApakah saya cukup berbesar hati membantu dia belajar dengan satu resiko, sewaktu-waktu posisi saya bisa tergeser oleh dirinya? Kesadaran itu menuntun saya untuk berkenan berbagi ilmu dan pengalaman belajar.

Saya tak pernah meminta gelar ranking satu. Sekolah lewat sistem evaluasinya yang menghendaki. Satu hal yang amat saya syukuri. Karena ranking, saya bisa ambil satu hikmah kehidupan. Setidaknya, tulisan ini lahir untuk mengikat makna dari episode kehidupan di masa silam. Jika gelar ranking itu bisa membuat pemiliknya ‘sadar diri’ dan bermanfaat bagi orang lain, itulah juara sejati. Kalau cuman bisa merusak diri dan orang lain, ranking itu memang tak berarti apa-apa.

Ranking itu basisnya kompetensi. Cerdas jadi ukuran. Siapa paling banyak lahap isi buku, text book thinking, bisa kerjakan semua soal ujian, siap-siap didaulat jadi orang pemilikranking satuRanking ditentukan oleh persepsi lingkungan. Ranking, itu hanya berlaku di lingkungan sekolah, amat terbatas. Ranking yang sesungguhnya, mestinya berbasis karakter. Cerdik jadi ukuran. Siapa paling pandai maknai kehidupan, contextual thinking, orientasi hidupnya menjadi manfaat bagi orang lain, dan tegar berdiri di atas kebenaran, maka kehidupan manusia di muka bumi ini akan tetap berjalan harmonis, aman, damai, dan sejahtera.

Apa itu ranking? Apakah ranking masih cukup penting dan relevan digunakan dalam konteks sistem evaluasi pendidikan hari ini? Einstein pasti tak pernah berharap, sistem ‘ranking’ akan melahirkan manusia terdidik yang berubah menjadi penjahat yang merusak harmoni dunia.

Jika hari ini, dunia mempertontonkan tingkah polah sebagian manusia yang mencabik-cabik dan menghancurkan harkat martabat manusia lainnya, mungkinkah ini ulah para pemilik ranking satuyang merasa dirinya cerdas, terbaik, dan terkuat di dunia? Andai Einstein masih hidup, menarik apa yang hendak disampaikan Einstein ketika membincang soal ranking dan harmoni dunia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement