REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konvensi ujian nasional (UN) yang melibatkan ratusan peserta terdiri atas guru, kepala sekolah, rektor perguruan tinggi, DPR RI, pakar pendidikan, dan birokrat akhirnya usai digelar, Jumat (27/9).
Hasilnya, semua peserta sepakat membuat rekomendasi ujian nasional (UN) tetap diadakan. Alasannya, UN adalah alat ukur yang terbaik untuk mengukur standar kompetensi lulusan (SKL).
''Setelah pleno konvensi sampai diskusi kelompok semua menyadari UN penting sekali,'' ujar Wamendikbud Musliar Kasim kepada wartawan usai penutupan Konvensi UN, Jumat (27/9).
Menurut Musliar, yang terpenting dari konvensi ini pemahaman semua peserta tentang manfaat UN sudah sama. Kecuali, kelompok yang walk out. Selama ini, masih ada orang berpikir UN tak ada manfaatnya karena dinilai merampas hak guru dan membuat anak jadi stres.
Kalau ada yang bilang UN tak perlu, kata dia, jangan-jangan belum paham soal UN. Banyak orang yang menolak UN, karena tak paham bagaimana konsep mengukur kompetisi seseorang lewat eksternal.
''Kalau tak ada UN nggak bisa mengukur apakah anak itu kopetensinya sesuai SKL kurikulum atau tidak,'' katanya.
Tanpa ada UN, kata dia, dunia pendidikan tentu akan kesulitan untuk mengetahui apakah siswa yang lulus sudah sesuai SKL atau belum. Karena itu, dibutuhkan sebuah sistem ujian akhir yang berlaku secara nasional seperti UN.
"Jadi kompetensi siswa dibidang pengetahuan hanya bisa diketahui melalui ujian," katanya.
Musliar mengatakan selama konvensi berlangsung, banyak masukan yang disampaikan oleh peserta konvensi. Mulai dari persoalan pencetakan naskah UN, pengawasan, penyusunan naskah hingga proporsi hasil UN dalam menentukan kelulusan siswa.
Terkait hal itu, menurut Musliar, Kemendikbud berencana akan melakukan pertemuan lanjutan dengan melibatkan dinas pendidikan di daerah untuk membicarakan beberapa hal teknis. Terutama, terkait pelaksanaan UN tahun-tahun mendatang.
Saat konvensi pun, kata dia, dibicarakan mengenai standar kelulusan. Terutama, mengenai presentase. Ada yang mengusulkan, presentase nilai ujian 50 persen dan nilai sekolah 50 persen. Tahun ini, presentase nilai kelulusan 60 persen UN dan 40 persen nilai sekolah.
''Secara gradual atau bertahap akan ditingkatkan. Sampai akhirnya, untuk menentukan kelulusan UN 100 persen dan ujian sekolah 100 persen,'' katanya.
Tahun selanjutnya, kata dia, presentasenya bisa 70 persen berbanding 30 persen. Berikutnya, 80 persen berbanding 20 persen. ''Itu langkak luar biasa yang bisa diambil. Itu betul-betul rumusan yang dibuat peserta,'' katanya.
Khusus tentang pencetakan soal, menurut Musliar, saat ini ada 6 region dan pencetakan di pusat. Nanti, bisa saja dicetak di daerah dan membuat 10 region. Misalnya, Sumatra satu paket pencetakan soalnya didaerahkan yang menjadi koordiantor Medan.
''Minimal jadi sepuluh paket soal tapi dibuat region. Yang jadi panitianya orang-orang region. Untuk anggaran UN tahun depan, kurang lebih masih sama dengan tahun ini Rp 600 miliar ga nambah,'' katanya.