REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan pendidikan inklusif sebagai alternatif mempercepat akselerasi layanan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), sangat didukung semua masyarakat.
Menurut Ketua Sekretariat Nasional Sekolah Aman Yanti Sriyulianti, kebijakan tersebuta sangat baik. Ia bahkan mengusulkan agar gerakan ini secara resmi dijadikan sebagai salah satu poin penilaian kinerja pemerintah daerah oleh Kementerian Dalam Negeri.
"Kalau gerakan ini dijadikan salah satu poin penilaian kinerja, gemanya akan makin terasa," ujar Yanti.
Sebab, menurut Yanti, kalau menjadi indikator penilaian Pemda, mekanismenya jelas. Yakni, ada reward and punishment yang akan dijalankan. "Kalau pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan mereka pada ABK, dana transfer daerah bakal membesar," kata Yanti.
Mekanisme ini, menurut Yanti, penting untuk dilakukan karena dalam tataran konsep, pendidikan inklusif relatif sudah baik. Kriteria-kriteria standar pendidik, sarana dan prasarana, serta pembiayaan telah mengakomodasi semangat ini. "Tinggal sekarang eksekusinya saja," katanya.
Satu-satunya yang dikhawatirkan Yanti dalam kebijakan sekolah inklusi adalah standar kelulusan yang masih menggunakan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Penilaian terhadap ABK, sebaiknya berbasis pada penilaian rekam jejak mereka. "Kebijakan UN sangat menyulitkan ABK," katanya.