REPUBLIKA.CO.ID,
Kemenag targetkan semua madrasah terakreditasi pada 2016.
JAKARTA -- Dalam tiga tahun ke depan, Kementerian Agama (Kemenag) akan fokus menyelesaikan program akreditasi bagi madrasah yang belum mendapatkan akreditasi.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Nur Syam mengatakan, dari total 46 ribu madrasah, baik negeri maupun swasta yang ada di Indonesia, sekitar 30 persen atau 13 ribu lebih masih belum terakreditasi.
Hal ini disebabkan standar pendidikan di madrasah-madrasah itu belum masuk kategori layak, termasuk sarana dan prasarananya.
“Karenanya, kita targetkan hingga 2016 mendatang minimal semua madrasah di Indonesia sudah terakreditasi,” ujar Nur Syam di Jakarta, Ahad (20/10).
Ia mengungkapkan, Ditjen Pendidikan Islam sudah menganggarkan 80 persen atau Rp 36 triliun dari total anggaran Rp 42 triliun untuk peningkatan kualitas madrasah.
Khusus untuk anggaran akreditasi, setidaknya disiapkan Rp 100-Rp 200 miliar setiap tahun. Anggaran ini, jelas Nur Syam, akan digunakan untuk dua program.
Pertama, peningkatan kualitas sarana dan prasarana madrasah. Dan kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti tenaga guru dan honorer. Termasuk, penyetaraan kualitas akademis pengajar di jenjang strata satu (S-1).
Nur Syam mengatakan, kebanyakan madrasah yang belum terakreditasi adalah madrasah swasta. Hal itu dikarenakan jumlah madrasah swasta lebih banyak dibandingkan madrasah negeri. Dari total 46 ribu madrasah, hanya 4.500 madrasah negeri.
Saat ini, menurut dia, walaupun anggaran Ditjen Pendidikan Islam sudah cukup besar, masalah anggaran masih menjadi problem utama untuk mengejar peningkatan akreditasi madrasah.
Sebab, jumlah madrasah yang sangat besar membutuhkan berbagai anggaran tersendiri. Sedangkan, untuk pengakreditasian membutuhkan alokasi sendiri.
Setiap tahun, Ditjen Pendidikan Islam baru bisa mengalokasikan 500 madrasah yang masuk dalam program akreditasi. “Artinya, apabila ingin meningkatkan kualitas madrasah keseluruhan, dibutuhkan waktu 10 tahun,” kata Nur Syam.
Memprihatinkan
Sementara itu, kondisi belajar mengajar yang memprihatinkan terus dialami berbagai siswa madrasah di beberapa daerah.
Salah satunya yang dialami ratusan siswa Madrasah Diniyah (MD) Al-Badriyah di Kampung Mekarsari, Desa Rahong, Kecamatan Cilaku, Serang, Banten.
Beberapa kelas di sekolah itu tidak memiliki kursi dan meja sebagai sarana belajar mengajar. Akibatnya, ratusan siswa terpaksa harus belajar dengan lesehan.
Parahnya, selain tidak tersedia meja dan kursi, madrasah ini juga tidak memiliki toilet dan tak dialiri listrik. Sejumlah atap bangunannya rusak dan berlubang.
Kepala MD Al-Badriyah Ahmad Yusuf Jaelani, mengatakan, sedikitnya ada 128 siswa yang terbagi di enam kelas. “Kelas V dan VI yang terpaksa harus menjalani proses belajar mengajar dengan lesehan. Sebelumnya, semua siswa belajar seperti itu, tidak ada kursi dan meja,” tuturnya.
Siswa madrasah yang telah berusia 10 tahun itu pun setiap hari harus membawa tikar dari rumah untuk belajar.
Sejak berdiri hingga sekarang, hanya ada enam tenaga pengajar di madrasah tersebut.
Mereka bekerja secara sukarela, hanya mendapatkan upah Rp 10 ribu per orang per bulan dari sumbangan para siswa.