REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk mengembangkan potensi peneliti di SMA, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menggelar olimpiade penelitian siswa (OPS).
Lomba ini, diikuti siswa SMA di 33 provinsi dengan membawa 99 hasil penelitian. Temanya, bahasa, science terapan dan humaniora.
"Di samping mencari juara tingkat nasional, di ajang ini kami juga mencari representasi untuk dikirim ke tingkat internasional," ujar Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Musliar Kasim kepada wartawan, Rabu (23/10).
Menurut Musliar, awalnya event ini bernama lomba penelitian. Namun, agar bisa singkron dengan ajang internasional, maka istilahnya diganti menjadi olimpiade penelitian siswa. Kemendikbud, akan terus mendorong agar anak-anak tingkat SMA pun, sudah bisa melakukan penelitian.
Hal tersebut, kata dia, sejalan dengan kurikulum 2013. Yakni, ingin menghasilkan, siswa kreatif dan inovatif. Berbicara tentang kreatif, pasti tak akan jauh dari ilmu pengetahuan dan penelitian.
Pada kurikulum 2013, sudah ditanamkan agar anak yang masih duduk di SD bisa melihat fenomena di sekitar lingkungannya. "Karena, tak ada suatu negara pun di dunia yang maju tanpa didukung penelitian," katanya.
Dikatakan Musliar, bagi seorang peneliti di pertanian, kotoran kerbau pun menjadi luar biasa. Sebab, dari kotoran tersebut bisa dilakukan banyak penelitian terutama untuk meneliti unsur haranya.
"Kalau mau, tak sulit sebenarnya mencari bahan penelitian. Selagi kehidupan ada, maka ada penelitian. Jadi kami terus mendorong siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi untuk melakukan penelitian," katanya.
Oleh sebab itu, kata dia, anggaran untuk penelitian yang dialokasikan di perguruan tinggi cukup besar. Yakni, sekitar 30 persen dari Biaya Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) yang nilainya mencapai Rp 3,9 triliun.
Bahkan, Kemendikbud menaikkan anggaran BOPTN tahun depan menjadi sekitar Rp 4 triliun jadi alokasi untuk penelitian pun ikut naik.
Untuk mencegah penelitian dobel atau plagiat, menurut Musliar, Kemendikbud sudah memiliki data base hasil penelitian yang dikelola Dirjen Perguruan Tinggi (Dikti). Jadi, peneliti tak mungkin melakukan penelitian dengan judul yang sama.
Selain itu, Kemendikbud pun bisa dengan mudah menemukan pelaku plagiat. "Dari sisi dana, adanya data base jadi lebih efektif. Kan kalau penelitiannya sudah dilakukan ngapain diberi bantuan lagi," katanya.
Musliar optimistis, dengan terus menggenjot penelitian, Indonesia akan semakin memiliki daya saing. Apalagi, Indonesia saat ini sudah berhasil meningkatkan daya saing di dunia.
Yakni, dari peringkat 50 menjadi 38. Di dunia, hanya ada 4 negara termasuk Indonesia yang berhasil menaikkan tingkat daya saing cukup melejit.
Naiknya daya saing Indonesia, kata dia, karena Indonesia dianggap bisa memunuhi kbutuhan dasar yaitu pendidikan dan kesehatan. Bahkan, angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia pun saat ini sudah mencapai 28 persen. Padahal, 4 tahun lalu masih di bawah 20 persen.
"Yang terpenting, inovasi yang terus dilakukan di negara kita," katanya.
Sementara menurut Dirjen Pendidikan Menengah, Akhmad Jazidie, OPS digelar sebagai bagian dari ikhtiar untuk membangkitkan rasa kecintaan pada ilmu pengetahuan untuk semua anak didik. Agar, semakin banyak siswa yang bisa maju karena inovasinya.
"Siswa peserta OPS yang menekuni dunia penelitian ini, ke depan akan menjadi pemain utama penelitian di Indonesia," katanya.
Selain mengikuti ajang internasional, kata dia, pemenang OPS ini akan memperoleh beasiswa. Saat melakukan penelitian, Kemendikbud tak memberikan dana pada siswa. Jadi, semua penelitian didanai dan dan inisiatif siswa sendiri.