Kamis 21 Nov 2013 14:15 WIB

Sarjana di Negeri Miskin Negarawan

Sarjana (ilustrasi)
Foto: sitekno.com
Sarjana (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Asep Sapa'at

(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

 “Pengemis, pengamen, pemulung, dan peminta sumbangan dilarang masuk kampus”, tulisan yang hendak menunjukkan ke-gagah-annya. Ayo terka, dimana kira-kira saya menjumpainya? Di salah satu kampus negeri kenamaan di Indonesia. Inilah fenomena 'menara gading'. Kampus terkesan indah, megah, dan hebat, sayang tak punya kontribusi bagi masyarakatnya. 

Pertunjukan hebat yang sering tak disadari kekeliruannya. Karena tak disadari, tak ada rasa bersalah secuil pun. Apalagi sikap menyesal dan segera mencabut papan peringatan itu. Pastilah si pengusir merasa lebih pintar dari pihak yang hendak diusir. Pesannya tegas, ‘orang kalah’ tak pantas masuk kawasan orang-orang elit nan pintar. Siapa pun pencetus idenya, beristigfarlah.

Kampus negeri adalah milik rakyat. Jangan-jangan, lega dan sesaknya nafas kehidupan masyarakat elit kampus ditentukan dukungan dana rakyat. Rakyat urun sumbangan pada negara dengan cara bayar pajak. Maka, kampus mesti amanah pada rakyat.

Melarang golongan Ekonomi suLIT (ELIT) masuk kampus, jelas pengkhianatan terhadap rakyat. Saya tak akan menggubris jika pelarangan terjadi di mall megah. Wajar, mereka hidup karena hanya cari untung sebanyak-banyaknya, just for only profit. Tapi ini kampus negeri, eksis untuk menebar nilai kehidupan, bukan mengeruk keuntungan nilai rupiah semata.

Kemiskinan adalah simpul terlemah bangsa ini. Jika ingin bangkit, maka simpul terlemah harus dibenahi. Karena sejatinya, simpul terkuat suatu bangsa terletak pada simpul terlemahnya. Sadarilah, kampus mestinya harus turut berkontribusi mengatasi kemiskinan masyarakat. Cara yang paling segera bisa dilakukan, cabut papan pelarangan masuknya orang miskin ke kampus. Cukup itu saja? Jelas tidak. Mengembangkan kualitas ilmu pengetahuan, mendayagunakan perkembangan teknologi informasi, serta menyiapkan pemimpin untuk masyarakat dan bangsa, agenda kerja penting kampus-kampus negeri di seantero penjuru nusantara.

Dari rahim kampus negeri, lahirlah sarjana dari waktu ke waktu. Mereka berhambur keluar kampus setelah diwisuda. Apa yang mereka lakukan kemudian? Mudah sekali diterka. Jika mereka tak pernah hidup dan merasakan kehidupan masyarakat miskin, mustahil akan terjadi perubahan kehidupan orang miskin di Indonesia. Dampak paling serius karena memisahkan para calon sarjana dari kehidupan orang miskin. Dan kampus negeri mesti malu karena sikap arogansinya, mengusir kaum papa dari lingkungan kampus.

Kadang, saya malu sendiri karena juga pernah terlahir dari kampus negeri. Batin ini lirih berbisik, "Hei sarjana, apa yang bisa kau lakukan untuk bangsamu?" Bersyukur, angka Rp 450.000,- yang tertera di bukti pembayaran SPP persemester membangkitkan suatu kesadaran, saya bisa kuliah dengan biaya relatif murah karena masyarakat Indonesia juga. Tak pantas, jika kelak tuntas kuliah, saya hanya berpikir soal urusan perut saya dan keluarga saya saja. Masih banyak saudara sebangsa dan setanah air terjebak dalam nestapa kemiskinan, apa yang bisa diperbuat, wahai sarjana?

Proses perenungan saya atas makna 'sarjana' sangat terbantu ketika menemukan mutiara hikmah dari tulisan 'Risalah Sarjana' (Sartika Dian Nuraini, 2013). Di salah satu paragraf, beliau mengemukakan pemikirannya, "... menjadi sarjana adalah menjadi manusia ekonomistik. Sarjana adalah manusia pencari dan pencetak uang bagi keluarga, masyarakat, dan negara."

"Maka, pengesahan dilakukan dengan mencari kerja. Pengukuhan seseorang menjadi sarjana disempurnakan dengan menjadi pekerja. Kutukan seorang sarjana jika dirinya menganggur. Orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat, dan negara akan menagih seorang sarjana untuk cepat-cepat menjadi manusia pencari kerja. Maka, para sarjana bergerak dan berjejal menjadi manusia pelamar kerja dalam bursa kerja".

Entahlah, jika ingat papan bertuliskan 'Orang miskin dilarang masuk kampus', saya selalu berpikir, jangan-jangan kampus tengah merancang kelahiran sarjana-sarjana ekonomistik. Para sarjana yang tak pernah selesai dengan urusan dirinya sendiri. Ketika kata 'orang miskin' tak pernah ada dalam kamus hidup para sarjana kita, maka konsekuensinya, mereka takkan pernah terpanggil untuk menyumbangkan hal terbaik yang dimiliki untuk masyarakat miskin.

"Kita telah kehilangan figur sarjana dalam arti keilmuan dan pengabdian sebagai laku kesarjanaan. Suluh dan risalah pemartabatan manusia menguap dalam mentalitas dan etos kesarjanaan yang kian memudar dan buram. Sarjana kini adalah hamba ekonomi dan bisa melakukan apa pun untuk memenuhinya, menjual martabat ilmu, menggadaikan kemanusiaan, dan mengubur etos belajar", tulis Sartika Dian Nuraini di akhir-akhir paragraf.

Di negeri miskin negarawan, kampus negeri berani mengusir orang miskin, elemen penting yang tak bisa dipisahkan dalam struktur masyarakat Indonesia. Manusia ekonomistik berhambur di era pembangunan, meski kita kebingungan, apa sebenarnya yang hendak dibangun sarjana-sarjana kita? Yang paling berbahaya, jika kelak mereka ditakdirkan menjadi pemimpin dan pejabat di negeri ini, sudikah mereka mengangkat harkat martabat saudaranya dari jurang kemsikinan? Sarjana di negeri miskin negarawan, pastilah takkan pernah tahu "untuk apa dan untuk siapa ilmunya".

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement