Jumat 29 Nov 2013 13:35 WIB

Krisis Jati Diri Guru

 Ribuan guru menghadiri acara puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2013 dan HUT ke-68 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (27/11). (Republika/Prayogi)
Ribuan guru menghadiri acara puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2013 dan HUT ke-68 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (27/11). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at

(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa)

Para pecinta dunia guru di Indonesia boleh berbangga hati. Pascalahirnya UU No. 14 Tahun 2005, muncul harapan besar citra profesi guru lebih bermartabat. Kegairahan mengemuka karena jaminan dan pengakuan atas pentingnya profesi guru ditunjukkan pengambil kebijakan.

Terlebih pascakebijakan sertifikasi digulirkan, setiap guru dipacu adrenalinnya untuk meningkatkan kompetensi. Satu kemenangan dituju, lulus sertifikasi. Hanya sekadar lulus sertifikasi? Jika jawabnya YA, maka itulah hal paling egois yang dilakukan guru. Yang jadi soal utama, apa dampak kebijakan sertifikasi untuk perbaikan kualitas pendidikan Indonesia? Guru sejahtera adalah satu hal. Hal lain yang jauh lebih penting, mampukah kesejahteraan guru berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan suatu bangsa?

Bank Dunia merilis sebuah publikasi bertajuk ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia”. Sejak tahun 2009, Bank Dunia meneliti di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan.

Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP. Pada tahun 2010 saja, biaya sertifikasi sudah mencapai angka Rp 110 triliun, sekitar dua pertiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN. WOW, sungguh memilukan. Mari buka hati dan pikiran kita, apakah kebijakan ini sungguh-sungguh hendak melahirkan guru yang punya jati diri atau malah lupa diri?

Problem Serius Guru

Bertanyalah pada setiap orang yang mengaku dirinya guru, siapa Anda? Mengapa Anda ingin menjadi guru? Sulit menjawab, itulah persoalan besar yang sesungguhnya. Jika tak tahu kemana kita melangkah, tiap simpang jalan akan menggaet kita. Jika tak tahu kemana kapal berlayar, tak ada angin yang bisa membantu. Maka, jika tak tahu mengapa jadi guru, hanya soal waktu saja kita pasti akan meninggalkan profesi mulia ini. Pilihan hanya bersifat situasional saja. Siap bertahan jika dianggap menguntungkan. Tak ragu beralih profesi jika naga-naganya tak punya prospek di masa depan.

Jati diri guru, persoalan teramat besar yang dianggap remeh. Saya tanya kawan lama yang sedang menimba ilmu di kampus keguruan, “Mengapa ingin jadi guru?” “Ini musibah buatku, tak ada pilihan lain. Jika ada kesempatan yang lebih baik, saya akan bergegas meninggalkan profesi guru”. Hah, saya terkaget-kaget mendengar jawabannya.

Untuk pertanyaan yang sama, sahabat karib tegas berujar, “Hidup hanya sekali. Saya ingin berbagi manfaat untuk kehidupan anak-anak. Saya tak mencari penghidupan dari profesi guru. Maka, saya selalu membenahi niat, mengapa harus jadi guru?” Orang yang tak tahu mengapa ingin jadi guru, mereka pasti akan kesulitan memaknai arti hidup, untuk apa hidup, dan kemana tujuan hidup. Itulah esensi dari jati diri. Paham dan sadar dengan segenap pilihan hidupnya.

Guru yang paham jati diri, mustahil menyandarkan hidupnya hanya untuk keuntungan dirinya semata. Ada pihak yang lebih diutamakan untuk dilayani. Ya, mereka adalah anak didik, calon pemimpin masa depan. Karena menjadi guru adalah panggilan hidup, maka guru tersebut saban kali merasakan kehidupan bersama anak-anak didik mereka. Mereka menggurat babak sejarah kehidupan. Kenangan dan inspirasi mereka takkan lekang ditelan waktu.

Guru yang punya jati diri, hidupnya akan terus berkembang dan secara bersamaan senantiasa memberi warna kehidupan pada anak didik. Karena itulah, lakon hidup seorang guru yang punya jati diri akan melegenda di pikiran dan hati sanubari anak didik bahkan jauh setelah mereka berpisah. Berapa banyak guru inspiratif yang pernah hadir dalam hidup kita? Siapa berani jamin, apakah semua guru yang sudah lulus sertifikasi sangat inspiratif di mata anak didik mereka? Mustahil guru akan menginspirasi jika dia tak punya jati diri. Sekali lagi, ini soal jati diri bukan sertifikasi.

Ketika seseorang tak sadar memutuskan pilihan hidup menjadi guru, rusaklah masa depan. Masa depan siapa? Masa depan banyak pihak. Pertama, masa depan dirinya sendiri. Dia terjebak dalam ilusi mimpi dan khayalan indah. Berharap hidup kaya, sengsara malah didapat. Tanggung jawab diabaikan, soal hak selalu jadi problem. Uang sertifikasi sudah diraih, mengapa cara mengajar dan perilaku diri tak berubah jadi lebih baik? Jangan pura-pura lupa, cermati kembali makna tersurat dan tersirat dari hasil kajian Bank Dunia soal sertifikasi guru. Bukti paling sahih, meningkatkan kesejahteraan guru bukan satu-satunya solusi menyelesaikan persoalan guru di Indonesia.

Kedua, masa depan keluarganya. Tutur kata dan sikapnya tak bisa digugu dan ditiru. Ketika mencari nafkah untuk keluarga, halal dan baiknya sumber pendapatan disepelekan. Jangan-jangan karena soal ketidakjelasan sumber nafkah, hari ini, banyak anak membangkang dan sulit diatur orangtua.

Karena perilaku diri tak mencerminkan sosok teladan, nilai kebaikan tak tumbuh subur dalam kehidupan keluarga. Maka bisa dipastikan, alih-alih menjadi contoh bagi keluarga lain di masyarakat, potret keluarga pak guru dan bu guru malah jadi bahan gunjingan tetangga.

Ketiga, masa depan anak didik. Ketika seseorang memutuskan jadi guru, sadarkah dia bakal turut menentukan masa depan orang lain? Ketika tentukan masa depan anak didik, sudahkah dia tahu kualitas dirinya? Jika memilih profesi guru jadi alasan untuk isi hari kosong, jelas salah alamat. Ikut-ikutan karena bisa mendadak kaya, masyarakat dan bangsa jadi terbebani. Jika tak tahu alasan, inilah problem terbesar serius seorang guru.

Keempat, masa depan masyarakat dan bangsa. Mengharap hadirnya guru berkualitas, apa yang disodorkan di tengah pandangan masyarakat yang tempatkan guru tak lebih baik dari buruh. Tugas guru, perbaiki kualitas pengetahuan dan akhlak anak didik. Lantas, siapa yang perbaiki kualitas ilmu dan moral guru? Guru punya hak untuk hidup layak, hak untuk beraktualisasi diri, dan hak untuk bahagia. Bela hak-hak guru, maka hak bangsa ini akan terbela.

Jadi guru penting itu baik. Tapi yang jauh lebih penting, jadilah guru baik. Maka, tugas para pemimpin di negeri ini, membangun sistem tata kelola yang mampu melahirkan guru baik dan punya peran penting dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Merekalah guru yang mampu kenali siapa diri mereka, dan paham tujuan menjadi guru. Pertanyaan kritisnya, apakah para pemimpin negeri ini punya jati diri? Jika belum, sungguh lahirnya guru berjati diri hanyalah utopia semata.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement