REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengembangan sekolah inklusi di Kota Yogyakarta saat ini masih terkendala kurangnya Guru Pendamping Khusus (GPK) untuk pada siswa inklusi tersebut. Padahal jumlah sekolah yang sudah menggelar program inklusi di Kota Yogyakarta mencapai 36 sekolah.
Sekolah ini terdiri atas, 17 Sekolah Dasar (SD), 4 SMP, 7 SMA, dan 8 SMK. Selain itu di Kota Yogyakarta juga terdapat 6 Taman Kanak-kanak inklusi.
"Idealnya satu siswa inklusi di sekolah itu didampingi satu GPK, tetapi karena jumlah GPK kurang sehingga pendamping diambil dari sukarelawan," ujar Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Herry Suasana usai mendampingi Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti saat meninjau Sekolah Inklusi di SDN Giwangan Yogyakarta, Rabu (4/12).
Dikatakan Edy, selama ini GPK yang ada di sekolah inklusi di Yogyakarta merupakan guru Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal kata dia, ketugasan guru SLB sendiri sudah sangat berat.
Mereka sudah mendampingi siswa berkebutuhan khusus di SLB yang bersangkutan masih harus mendampingi siswa berkebutuhan khusus juga di sekolah inklusi di Yogyakarta.
"Akibatnya kita terpaksa rekruet GPK bukan dari SLB tetapi relawan yang konsen terhadap anak berkebutuhan khusus apakah itu psikolog atau guru kelas yang kita latih menjadi GPK," ujarnya.
Meski begitu kata dia, hal tersebut tetap tidak maksimal. Karena kemampuan guru SLB dengan guru kelas yang dilatih menjadi GPK akan berbeda. Penyesuaian terhadap kurikulum terkait siswa inklusi juga berbeda. Kurangnya GPK ini juga dikeluhkan oleh GPK sekolah inklusi.
GPK SDN Giwangan Yogyakarta, Nur Endang Indrariyana mengatakan, di SD tersebut ada 31 siswa inklusi dari kelas 1 hingga kelas 6. Namun kata dia, guru pendamping bagi 31 siswa inklusi ini hanya ad 16 orang.
Tiga di antaranya merupakan GPK dari Sekolah dan SLB DIY dan 13 lainnya merupakan sukarelawan yang direkruet orang tua siswa untuk mendampingi siswa inklusi yang bersangkutan.
"Relawan ini bukan dari Pendidik Luas Biasa (PLB) mereka dari psikolog atau mahasiswa jadi terkadang kurang bisa menyesuaikan kurikulum," katanya.
Oleh sebab itu, ia menambahkan, ke depan pihaknya berharap ada penampahan GPK dari guru-guru PLB sehingga peningkatan kemampuan siswa berkebutuhan khusus di SDN Giwangan ini bisa maksimal.
Di SDN Giwangan ada 12 kelas inklusi. Jenis ketunaan yang dialami siswa sendiri cukup beragam antara lain, tuna daksa, tuna netra, autis, hiperaktif dan sebagainya.
Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti mengatakan, Pemkot Yogyakarta akan memperhatikan betul pengembangan sekolah inklusi ini. "Jadi ke depan bukan hanya proses belajar mengajarnya saja tetapi juga kelengkapan sarana dan prasarana bagi siswa inklusi," ujarnya.
Pemkot kata dia, juga akan memperhatikan kekurangan GPK seperti yang dikeluhkan sekolah inklusi di Yogyakarta. Pihaknya akan berkoordinasi dengan PLB untuk pemenuhan kebutuhan GPK ini.
"Ke depan kita juga akan bicara standarisasi skeolah inklusi terutama sarana dan prasarananya," katanya.