REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at (Penikmat Karakter, Direktur Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa)
‘Karakter Miskin atau Miskin Karakter’, kata-kata itu melintas cepat di pikiran. Tentu ada sebab mengapa kata itu mampir di benak. Seorang nenek tua yang terkena razia satpol PP, di dalam tasnya yang lusuh, setelah dihitung hasil mengemisnya selama dua hari, ternyata eh ternyata jumlahnya ada tiga juta lima ratus ribu rupiah.
Satu informasi lagi yang membetot perhatian saya, seorang pengemis yang berhasil digelandang, pun terbukti bisa mengumpulkan uang 25 juta rupiah dalam 15 hari. Ah, jangan-jangan kemiskinan telah jadi profesi baru. Meminta-minta adalah siasat terbaik yang dilakoni si empunya profesi ini.
Meminta-minta memang punya dua keunggulan, yaitu efisien dan efektif. Bukankah azas efisien dan efektif yang diterapkan merupakan inti kiat memenangkan persaingan? Mereka yang miskin tentu tak paham, bahwa cara meminta yang mereka lakukan ternyata memenuhi standar manajemen profesional. Efisien karena tak memerlukan modal apapun. Semakin modalnya kurang, semakin efektif mendapat uang. Maaf, orang yang tak punya kaki dan tangan, cenderung lebih efektif mendapatkan uang ketimbang yang masih punya satu tangan dan satu kaki. Bagi yang masih lengkap tangan dan kaki, cukup bertepuk tangan dan menyanyi lagu apa saja. Semakin menyedihkan dan menyayat, semakin besar peluang mendapat recehan.
Dalam hal semangat, mereka yang meminta-minta terbukti tak kalah etos kerjanya dengan Anda. Dari pagi hingga malam, mereka bekerja dengan meminta-minta. Padahal di jalan-jalan itu ada juga kelompok lain yang bekerja menyapu jalan, misalnya. Kelompok ini tak pasrah pada nasib. Tukang sapu dan peminta-minta memiliki kondisi yang sama. Semua sama-sama miskin, sama-sama terjun menyusuri jalan dan sama-sama cari nafkah. Mereka juga punya isteri, punya anak dan sama-sama tengah membina keluarga.
Namun karena berbeda dalam metode dan cara mencari uang, proses dan hasilnyalah yang akan berbeda. Hasil ini bukan hanya semata banyaknya uang yang diperoleh. Yang tak kalah pentingnya adalah lahir sebuah sikap mental yang berbeda karakternya.
Orang miskin yang menyapu jalan, sesungguhnyalah mereka fuqara walmasakin. Mereka tidak eksploitasi kemiskinan sebagai modal kerja. Mereka cegah dirinya agar tak hina. Dengan bekerja menyapu, mereka tengah mengeksplorasi diri. Mereka bina mental untuk tetap berupaya mencari rezeki. Proses how to survive ini akan berpengaruh pada pembinaan mental keluarga. Bila sang bapak yang menyapu jalan tersebut paham tentang harkat sebuah pekerjaan, ia larang keluarganya meminta-minta. Meski sang bapak paham dan telah tenggelam selama bertahun-tahun bahwa pekerjaan menyapu jalan memang tidak pernah bisa jadi landasan keluarga untuk hidup layak.
Kepala keluarga yang menyapu jalan, dia telah belajar membangun karakter diri lewat perjuangan hidup. Ia nafkahi keluarga dengan bekerja membersihkan jalan. Itu adalah hasil keringatnya, bukan meminta-minta. Sementara orang miskin yang meminta-minta, menjadikan kemiskinan sebagai sumber nafkah. Dari hasil mengemis ini, penghasilan mereka memang berkali lipat ketimbang rekan-rekannya yang menyapu jalan. Di kota-kota besar terutama di Jakarta, penghasilan dari meminta-minta ini bisa mencapai ratusan ribu rupiah per hari. Jika minimal seratus ribu rupiah per hari, maka penghasilan peminta-minta mencapai Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Berapa gaji Anda? Itu semua diperoleh tanpa bersusah payah sekolah, tanpa perlu magang atau melalui jenjang pelatihan dan pengalaman sekian tahun bekerja. Hanya dengan memasang ‘wajah nestapa’, mencari rezeki menjadi mudah bagi kalangan peminta-minta.
Kemiskinan gaya baru memang telah berkembang, yang menjadikan kemiskinan sebagai profesi. Definisi kemiskinan tak lagi menjelaskan status sosial, melainkan telah jadi sumber mencari rezeki. Itulah fuqara walmasakin yang telah berubah jadi fuqara masa kini. Jumlah fuqara masa kini makin hari bertambah-tambah. Yang dikoordinir maupun yang terjun tanpa koordinasi meruyak di mana-mana. Seperti di berbagai perempatan jalan, mereka tiba-tiba hadir berkelompok. Yang tidak dikoordinir, mengerahkan anak-anaknya meminta-minta. Sementara para orang tuanya memantau dari tepi jalan atau sudut-sudut tembok yang sulit dilihat pengguna jalan. Sebuah fenomena baru, mengemis jadi profesi. Di kota-kota besar mereka tinggal sekadarnya. Tapi di kampung, siapa sangka di antara mereka, ada yang memiliki rumah, kerbau dan sawah.
Men-DIDIK Tak Bisa Men-DADAK
Menarik menyimak perjalanan hidup penyapu jalanan dari keluarga miskin. Karakter mereka jadi contoh berbagai perilaku berkait dengan korelasi kejiwaan, keilmuan dan harta. Tiga segi yang saling mempengaruhi. Sulit menentukan mana yang lebih dahulu hadir. Ini sangat kondisional. Ada orang yang memang terlahir dari keluarga beriman kuat. Tapi ada yang menemukan iman belakangan. Iman yang tertanam jadi cerminan jiwa. Juga tak sedikit yang tercerahkan melalui ilmu. Ada pula yang menjadi taqwa, justru saat tak memiliki harta berlebih. Kebaikan yang satu, melahirkan kebaikan di segi lain. Iman yang kuat, akan mengokohkan jiwa jadi makin sehat. Dengan jiwa yang takwa, harta pun berkah dan manfaat. Punya harta atau tidak, jiwa yang sehat selalu ingin bersedekah.
Miskin itu bukan pilihan. Menjadikan kemiskinan sebagai jalan menuju kemuliaan atau kehinaan, itu tergantung si miskin. Secara tersirat, ada hikmah dan pelajaran soal pendidikan karakter dari kehidupan orang-orang miskin. Saya menaruh hormat luar biasa pada orang miskin yang tak jerumuskan dirinya dalam kehinaan. Yang lebih dahsyat, ada orang miskin yang masih sempat mau berbagi apa yang dia miliki untuk sesamanya. Harta boleh tiada, tapi ilmu dan jiwa mesti tetap kaya. Karena dengan kekayaan ilmu dan jiwa, orang miskin tetap punya harga diri.
Kehidupan adalah sekolah terbaik bagi si miskin untuk menempa diri. Meski tak mampu bersekolah pun, pantang untuk berhenti belajar. Karena hakikatnya, belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Ingat, pendidikan itu bukan persekolahan. Maka, kesungguhan menuntut ilmu dan menyadari hakikat diri, modal berharga bagi orang miskin untuk ‘naik kelas’.
Kebaikan akan melahirkan kebaikan yang lain. Berarti keburukan juga akan melahirkan keburukan yang lain. Pada segala hal, kebaikan dan keburukan selalu ada. Konstruktif dan destruktifnya amat tergantung pada proses pembinaan. Beruntunglah anak dari penyapu jalanan tersebut. Orangtuanya punya prinsip dan pegang teguh prinsip itu dalam kehidupan. Sang bapak telah mengajarkan kepada keluarga bagaimana caranya hidup menjadi orang miskin yang beradab. Anak dan istri dididik agar tak bermental peminta-minta. Sosok bapak yang tangguh menjalani kerasnya kehidupan, dialah figur berkarakter yang layak digugu dan ditiru.
Proses pendidikan karakter telah terjadi di keluarga miskin. Pembelajaran, pembiasaan, dan peneladanan mewujud nyata dalam potret kehidupan sang penyapu jalanan. Sang bapak punya cara hebat mendidik keluarga dan calon generasi penerusnya. Inti pendidikan karakter sangat sederhana, latih dan biasakan semenjak dini secara berulang-ulang. Tak instan, terus berproses, dan tak pernah berakhir, itulah ciri utama proses pendidikan karakter. Karena mendidik karakter tak bisa mendadak, mari selami makna pendidikan karakter dari orang miskin di sekitar kita. Jangan-jangan, kunci rahasia menjadi orang berkarakter ada di pikiran dan hati mereka.
Bangsa ini perlu berbangga hati jika punya orang miskin berkarakter. Bahkan para perumus kebijakan tak usah malu belajar karakter dari kehidupan orang miskin. Kelak, orang miskin bisa diatasi lewat kebijakan negara yang sungguh-sungguh mengentaskan kemiskinan, bukan ‘memelihara’ kemiskinan. Karena sesungguhnya, kita tak pernah mau jadi bangsa betah miskin.