REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri
Harus ada pemaksaan kepada anak didik untuk membaca.
JAKARTA -- Minat baca masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat luar negeri. Untuk itu, perlu didorong agar budaya membaca dan menulis dapat ditingkatkan lagi.
Demikian ringkasan kecil dalam diskusi reflektif yang digelar Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta, di Wisma Antara, Kamis (19/12).
Diskusi ini mengangkat tema Buku dan Karakter Bangsa. Acara ini dihadiri para penerbit anggota Ikapi, tokoh perbukuan, penulis, dan pejabat pemerintahan.
Budayawan sekaligus sastrawan, Taufiq Ismail mengaku prihatin dengan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini. Bahkan, kata dia, hal itu telah terjadi sejak Indonesia merdeka.
“Sekitar 20 tahun lalu, hal ini sudah saya sampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), namun tak ada respons. Bahkan, hingga saat ini, sudah berulang kali pergantian menteri pendidikan, belum mampu juga mendorong minat baca masyarakat,” ujar Taufiq.
Karena itu, kata Taufiq, harus ada pemaksaan kepada masyarakat, terutama anak usia dini untuk mulai membaca. “Di luar negeri, terutama Rusia, satu orang siswa paling sedikit membaca 14 buku setahun. Di Indonesia, ada anak yang hanya membaca satu buku setahun,” ungkapnya.
Lebih parahnya lagi, kata Taufiq, ada anak yang tidak bisa membuat karangan selama sekolah. Kalau pun ada, jelasnya, paling hanya cerita pendek, seperti cita-citaku, berlibur ke rumah nenek, dan lainnya.
Hal yang sama juga diungkapkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Ia mengakui minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah.
Karena itu, dia setuju agar ada kebijakan tegas yang mendorong masyarakat terutama peserta didik untuk terbiasa membaca. “Tanpa kebijakan tegas, sangat sulit untuk mendorong peserta didik untuk membaca,” ujarnya.
Ketua Umum Ikapi Pusat, Lucya Andam Dewi mengungkapkan, saat ini posisi Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 65 negara yang pernah disurvei tentang kesadaran membaca.
“Ini pe-er (pekerjaan rumah) kita bersama untuk meningkatkannya,” kata dia. Di antaranya, jelas Lucy, dengan memperbanyak taman bacaan atau rumah baca bagi masyarakat maupun peserta didik.
Hal ini pulalah, kata dia, yang menyebabkan dunia perbukuan di Indonesia belum menggembirakan dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia. Padahal, terangnya, buku merupakan jendela dunia untuk mengenal beragam ilmu pengetahuan.
Di tempat yang sama, Ketua Ikapi DKI Jakarta Evi Afrizal Sinaro mengatakan, sepanjang 2013, total penjualan buku secara nasional mencapai 72 juta eksemplar dengan 24 ribu judul buku per tahun.
Artinya, kata Evi, dalam sebulan tercatat ada 2.000 judul buku baru yang diterbitkan, dengan rata-rata minimal 3.000 eksemplar untuk setiap judulnya.
Dari jumlah itu, kata Evi, dengan total populasi Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, maka untuk setiap buku dibaca oleh 3-4 warga dalam setahun.
“Inilah yang menyebabkan dunia perbukuan kurang begitu bergairah, walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini ada peningkatan minat baca,” ujarnya.
Untuk itu, Evi berharap, pemerintah benar-benar segera membenahi sistem dunia pendidikan yang belakangan ini semakin memprihatinkan dengan maraknya aksi pencabulan dan pemerkosaan.
“Sistem pendidikan kita cenderung amburadul dan tak selaras dengan jiwa dan akhlak yang mulia,” terangnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu kebersamaan untuk mendorong masyarakat meningkatkan minat bacanya. Mulai dari pemerintah, parlemen, orang tua, masyarakat, penerbit, penulis, dan semua elemen bangsa.
Untuk alasan ini pula, pihaknya akan segera memberikan rekomendasi kepada pihak terkait seperti Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Kementerian Agama (Kemenag), dan juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merancang sistem pendidikan yang lebih baik, sekaligus mendorong siswa untuk aktif membaca.