REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Kerasnya kehidupan di pinggir kota Jakarta tak membuat Doni terlena dengan impiannya. Berasal dari keluarga yang sangat sederhana, justru membuatnya semakin terpacu untuk dapat membahagiakan kedua orangtuanya kelak.
Doni adalah anak ketiga dari pasangan Rasih dan Sapri. Mereka tinggal di rumah yang hanya berukuran 2,5 x 2 meter yang berlokasi di Jalan Mangga VIII RT 2/RW 5 Kelurahan Ancol, Jakarta Utara. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, ayah Doni (Sapri) bekerja sebagai buruh bangunan. Sementara ibunya (Rasih) adalah seorang ibu rumah tangga.
Untuk menambah kebutuhan keluarga tercinta, Rasih pun juga bekerja dengan mengumpulkan gelas plastik bekas. Gelas plastik bekas dibelinya dengan harga Rp. 17 ribu, setelah itu, gelas-gelas plastik bekas tersebut ia bersihkan sebelum akhirnya ia jual kembali.
Melihat kondisi keluarga yang sangat terbatas, tak membuat Doni diam begitu saja. Setelah pulang sekolah, Doni bekerja sebagai pengojek Lori. Lori adalah sebuah kereta dorong yang terbuat dari kayu. Didorong di sepanjang rel kereta api tempat pencucian kereta. Satu Lori berisi tiga hingga enam penumpang. Satu penumpang dapat membayar Rp 3000 dari arah pangkalan Dipo menuju Dao Atas ataupun sebaliknya. Dalam sehari Doni dapat menghasilkan uang sekitar Rp 20 ribu. Uangnya ia gunakan untuk keperluan sekolah dan sebagiannya lagi ia berikan kepada ibunya.
Pekerjaan sebagai pengojek Lori ini sudah digelutinya sejak setahun lalu. Meski kedua orangtua telah melarangnya, namun Doni tetap menjalani kegiatan yang sudah jadi kebiasaanya itu bersama teman-temannya. Wilayah Kampung Muka, Ancol adalah salah satu wilayah terpadat di DKI Jakarta, yang masih memerlukan perhatian khusus. Sebagian masyarakat di sini bermata pencaharian sebagai pedagang, sopir, dan buruh serabutan dengan penghasilan yang tidak menentu. Tuntutan kehidupan yang mendesak, maka tak heran banyak anak-anak yang sudah bekerja demi membantu orangtuanya.
Pendidikan bagi mereka bukanlah hal yang utama. Hal ini pun dibenarkan oleh Nur Holis, selaku ketua RW 04 Kelurahan Ancol. “Yang jelas disini kumis, kumuh, padet dan miskin, ya miskin tempat bermain, miskin pendidikan, miskin keahlian, mereka tidak bisa memungkiri, yang penting bisa kumpul sama keluarga, bisa makan, bisa hidup, bagaimana hidup sebagai manusia.“ ungkap Nur Holis.
Kehidupan yang dialami anak-anak tersebut, menginiasi Community Development (ComDev)-ACT untuk memberikan pendidikan non formal di tengah lingkungan mereka. Melalui Rumah Kreativitas, Comdev memberikan pelatihan berupa pelatihan bisnis, service handphone, dan fotografi. Adanya kegiatan pelatihan Rumah Kreativitas tersebut, tentu sangat memberikan harapan besar bagi masyarakat Kampung Muka dan sekitamya, khususnya Doni. Melalui kegiatan tersebut, Doni dan teman-temannya mendapatkan pengetahuan, wawasan, serta keterampilan bagi diri mereka.
Doni memiih mengikuti kelas bisnis dan service handphone dalam Pelatihan Rumah Kreativitas ini. Harapannya sangatlah besar untuk dapat sukses di masa depan. Ia pun sangat berterimakasih kepada ACT yang telah memberikan pelatihan ini secara gratis. “Buat ACT, terimakasih, sudah biayain saya ikut pelatihan ini, biar saya punya bakat, nanti mudah-mudahan saya bisa ahli service HP nantinya, yang mudah-mudahan kalo saya sudah gede nanti, bisa jadi pebisnis yang handal, amien!” harap Doni dengan penuh motivasi tinggi.
Hal yang sama juga dirasakan Rasih. Sebagai orangtua, Rasih pun sangat berterimakasih dengan adanya kegiatan pelatihan dari Rumah Kreativitas. Ia sangat bersyukur karena melalui pelatihan tersebut, Doni mendapatkan ilmu secara gratis.“Kalo saya sebagai orangtua Doni, ya terimakasih banyak, anak saya sudah dididik, Terimaksih ACT,” ujar Rasih, belum lama ini.
Ilmu adalah hal yang tak pernah lekang oleh waktu. Melalui ilmu, manusia dapat berkarya dan berkembang untuk menyongsong masa depan yang cerah. Pelatihan yang telah diberikan oleh Rumah Kreativitas Comdev-ACT, diharapkan dapat digunakan Doni dan teman-temannya sebagai bekal hidup di masa depan.