REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Baraas/Ani Nursalikah
DENPASAR -- Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) diminta menginvestigasi pelarangan siswi berjilbab di Bali. Khususnya, di sekolah-sekolah negeri. Pelarangan tak hanya berlangsung di Denpasar, tetapi hampir seluruh wilayah Bali.
“Harus ada investigasi secara langsung,” kata Wakil Sekjen Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) Helmy Al Djufri, Senin (24/2). Menurutnya, PII sudah mengumpulkan data-datanya dan bisa dijadikan masukan oleh Kemendiknas.
Berdasarkan pendataan Pengurus Wilayah PII Bali, ada sekitar 40 sekolah yang melarang siswi Muslim memakai jilbab. Caranya bermacam-macam. Ada yang terang-terangan dengan mencantumkan larangan tertulis.
Cara lainnya, ancaman yang tersamar sehingga siswi Muslim merasa ketakutan mengenakan jilbab di sekolah dan akhirnya membuka jilbabnya. Data mengenai 40 sekolah yang melarang jilbab ini menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan.
Dengan demikian, Kemendiknas mempunyai alasan sangat kuat menginvestigasi larangan jibab di sekolah-sekolah di Bali. “Kami juga membuat petisi. Intinya meminta Kemendiknas menindaklanjuti temuan adanya pelarangan jilbab bagi siswi di Bali,” kata Helmy.
PII pun mendesak adanya jaminan Kemendiknas agar siswi berjilbab di Bali tak mendapatkan tekanan atau ancaman. Kalau ada yang akan berjilbab, jangan sampai dihalangi. Begitu pula bagi siswi yang sudah berjilbab tak diteror atau intimidasi.
Sekretaris Umum PW PII Bali Fatimah Azzahra mengatakan, memang ada juga sekolah negeri dan swasta yang membolehkan jilbab. Mereka tak mempermasalahkannya. Tapi, siswi berjilbab diminta untuk siap menanggung risiko.
Bentuk risiko itu, seperti diejek atau dipandang berbeda oleh teman-teman sekolahnya. “Hal semacam ini biasanya terjadi di kalangan siswa SMP,” kata perempuan yang biasa disapa Zira itu.
Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution mengatakan sudah datang ke Bali. Ia bertemu pemerintah daerah, perwakilan Dinas Pendidikan, kepala sekolah SMAN 2 Denpasar, siswi SMAN 2 Denpasar yang semula terhalang berjilbab, Anita Whardani, serta PII.
Ia mengakui, bukan hanya Anita yang dilarang berjilbab, tetapi juga siswi lain di Bali. Komnas HAM akan membicarakan kasus jilbab ini dengan Kemendiknas. Jadi, nantinya ada panduan baku nasional tentang seragam sekolah dengan memperhatikan hak dasar siswa.
“Rencana lainnya, kami mempertemukan Kemendiknas dengan Kementerian Agama untuk memfasilitasi urusan jilbab di sekolah,” ujar Maneger. Menurutnya, jilbab sebagai ekspresi keagamaan harus terus disosialisasikan.
Ia menyarankan agar dibuat road map tentang jilbab yang disesuaikan dengan kondisi Bali. Berjilbab merupakan kewajiban bagi Muslimah dan bagian dari ibadah. “Ibadah tak boleh dilarang oleh institusi manapun.”
Terlebih, untuk sekolah negeri yang sifatnya umum. Ini tentu berbeda dengan sekolah khas keagamaan. Maneger mengungkapkan kasus serupa, yaitu pelarangan siswi berjilbab juga ditemui Komnas HAM di Brastagi, Sumatra Utara.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj menyayangkan pelarangan penggunaan jilbab di Bali. Menurutnya, melarang siswi memakai jilbab sama saja dengan pelanggaran kebebasan dan hak asasi manusia.
“Apa sih jeleknya berjilbab? Saya menyayangkan pelarangan itu,” kata Said. Ia meminta umat Hindu terbuka dan toleran seperti umat Islam. Toleransi umat Islam itu terlihat jelas saat Hari Raya Nyepi dengan cara menghentikan seluruh aktivitas.