REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebuah kajiannya, Mochtar Buchori (2006) menyatakan ada tiga tugas kehidupan yang harus dipersiapkan pendidikan untuk para peserta didik. Pertama, agar peserta didik bisa menghidupi diri sendiri. Kedua, agar peserta didik dapat mengembangkan kehidupan yang bermakna. Ketiga, ini yang jarang diungkap, untuk memuliakan kehidupan.
Sekolah sebagai institusi penebar nilai kehidupan dalam ruang lingkup pendidikan formal, tentu punya amanah untuk mengantarkan peserta didik sukses dan hidup bermakna di masa depan. Untuk tujuan pertama, ternyata tak semua sekolah bisa menyiapkan peserta didik untuk menghidupi diri sendiri. Bila sarjana saja tak siap pakai, bagaimana lagi dengan hanya lulusan SMA dan jenjang pendidikan lebih rendah dari itu. Sampai hari ini sekolah masih terlalu sibuk dengan fungsinya yaitu transfer pengetahuan yang ternyata kebanyakan cuma wacana. Pengetahuan yang sekadar wacana, sulit bisa dijadikan alat mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri. Sebabnya jelas itu bukan keterampilan.
Tujuan kedua yaitu mengembangkan kehidupan yang bermakna, ini bicara kebaikan dalam wilayah karakter. Inilah yang tak banyak dibahas di sekolah. Kita tak pernah membicarakan soal makna hidup. Yang kerap diperbincangkan ialah soal kesuksesan hidup. Titik persoalannya, apakah setiap kesuksesan selalu mengantar kita ke kehidupan yang bermakna?
Menjadi presiden, menteri, anggota legislatif, pengusaha, profesor, misalnya, kita pandang sebagai suatu kesuksesan. Tetapi, apakah setiap kehidupan presiden, menteri, anggota legislatif merupakan kehidupan bermakna? Apakah setiap kehidupan pengusaha dan profesor yang mewakili simbol kelompok orang kaya dan orang pintar selalu merupakan kehidupan yang bermakna?
Bicara kehidupan bermakna, maka kita bicara soal pengenalan jati diri. Naifnya, kadang materi kurikulum sekolah yang bejibun menyita seluruh waktu dan energi anak, sehingga anak tak sempat diajak berpikir, siapa sebenarnya dia, dan apa hal-hal baik yang seharusnya dilakukan dalam hidup.
Inilah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi siswa. Pak Mochtar Buchori dengan tegas menyebut fenomena ini sebagai suatu dosa pendidikan yang sulit dimaafkan. Dan kekeliruan ini cenderung disepelekan oleh sekolah-sekolah kita.
Soal yang lain lagi adalah, sekolah yang mana sungguh-sungguh mendidik siswa untuk memahami 'kemuliaan hidup'? Memahami 'kemuliaan hidup' ini bukan perkara mudah. Ini bicara nilai kehidupan. Nilai kehidupan bisa dilesakkan pada diri siswa lewat praktik mendidik bukan mengajar an sich.
Philip H. Phenik (Columbia University, 1964) menyatakan, pengetahuan yang tak bermakna tak ada gunanya, dan hanya menjadi beban hidup. Maka, dalam kehidupan terdapat enam jenis wilayah makna, yaitu symbolics, empirics, esthetics, synnoetics, ethics, serta synoptics.
Untuk memahami makna di wilayah symbolics, siswa harus diberikan pendidikan dalam bahasa dan matematika. Pendidikan tentang lingkungan fisik (fisika, kimia, biologi, dsb) bisa membantu siswa memahami berbagai makna di wilayah empirics.
Untuk memberikan kemampuan memahami makna di wilayah esthetics, biasanya diajarkan seni suara, sastra, visual arts, dan seni gerak. Drama dan pembahasan film atau jenis cerita lain perlu diajarkan untuk memahami makna di wilayah synnoetics. Pelajaran sejarah, filsafat, dan agama perlu diajarkan untuk memahami makna di wilayah synoptics. Terakhir, untuk dapat memahami makna di wilayah ethics, perlu ditanamkan kesadaran dan kesediaan mematuhi norma yang berlaku.
Maka, sadarkah kita jika selama ini ada kecenderungan sekolah-sekolah mengabaikan esthetics, synnoetics, dan esthetics dalam praktik pembelajaran di ruang-ruang kelas. Wajar jika sekolah hanya jadi ajang pameran kecerdasan 'orang-orang pintar' secara akademik saja. Tapi, kurang mengapresiasi para siswa yang telah berusaha menunjukkan karakter (Misal, jujur, disiplin, tanggung jawab, dsb) dalam keseharian mereka. Bukti nyata sekolah tak mampu jadi ruang berperistiwa praktik pendidikan karakter yang sesungguhnya.
Dulu ada pendidikan budi pekerti. Sekarang, pendidikan budi pekerti telah lama hilang atau kalaupun ada hanya sekadar tempelan saja, bukan pelajaran inti. Wajar jika anak-anak kita sekarang kebanyakan tak paham apa itu budi pekerti. Padahal pendidikan budi pekerti amat penting.
Latihan budi pekerti merupakan salah satu metode menanam karakter. Tanpa pendidikan budi pekerti, juga pelajaran agama yang cuma beberapa jam per minggu, perilaku anak-anak berkembang tanpa pembinaan. Tanpa pembinaan, perilaku anak-anak lebih didominasi tabiat. Perilaku buruk yang tak usah dididik, otomatis berkembang dengan sendirinya. Sejatinya, di sinilah peran penting sekolah dalam membina karakter anak-anak kita.
Ujungnya, ketika ujian berlangsung di sekolah-sekolah di Indonesia, hampir tak pernah tanpa kecurangan. Sebelum pada siswa, tanyakan pada diri sendiri, pernahkah kita mencontek saat ujian atau ulangan? Jika tidak, berapa persen yang tak pernah curang? Karena kekeliruan ini dianggap kebiasaan, maka bahayanya hal ini dijadikan kebenaran. Maka, mencontek bagi siswa di Indonesia sudah jadi tradisi, "enggak nyontek, enggak gaul" katanya. Yang tak mau memberi contekan ke temannya, bisa-bisa malah dikucilkan.
Soal ujian bocor, sudah jadi tradisi sekolah di Indonesia karena terjadi mungkin sudah sejak tahun 70-an hingga kini. Soal 'joki soal' masuk PTN, terus terjadi dari tahun 80-an juga hingga kini. Soal ujian diulang lagi dan berulang terus di beberapa daerah. Hingga para pembuat soal, para pekerja percetakan, dan pihak-pihak terkait telah disumpah untuk tak bocorkan dokumen ujian. Namun tetap bocor juga.
Dulu hingga akhir tahun 70-an, sekolah yang ujiannya bocor terasa hina sekali. Sekarang ujian bocor dianggap lumrah. Mencontek telah jadi tradisi. Kini ujian bocor pun telah jadi kultur baru. Entah apa masih berlaku pepatah 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari'.
Memang pasti tetap ada guru yang melarang siswa mencontek. Tapi berapa banyak guru yang tak rela terhina profesi pendidiknya. Hanya mungkin karena kasihan pada murid, guru yang idealis pun akhirnya pura-pura tak tahu. Berat tidak berat, akhirnya diam dan membiarkan murid mencontek. Atau karena khawatir nama sekolah jadi buruk, anak-anak bukan lagi hanya dibiarkan mencontek bahkan diberi jawaban. Bukan hanya satu, tapi mungkin juga hampir semua jawaban.
Atau yang terjadi adalah pengawasan formalitas. Saat pengawas ujian dari luar sekolah datang, tak ada satu pun siswa mencontek. Suasana jadi hening dan terasa amat menegangkan. Tetapi begitu pengawas pergi, suasana hiruk pikuk dan aksi saling mencontek kembali terjadi. Guru hanya bisa tersenyum meski mungkin hatinya terasa galau.
Inilah kecurangan demi kecurangan yang mungkin telah dilatih sejak SD, sadar atau tanpa sadar. Sifat buruk mencontek telah dianggap lumrah. Yang meresahkan justru ini dimulai dari pendidikan dasar. Tabiat buruk dibiarkan bahkan dilatih. Yang diam-diam disadari atau tak akan berpengaruh jadi perilaku. Begitu dalam kondisi kritis dan genting, apapun akan dilakukan. Begitu ada kesempatan untuk meraih sesuatu, segala cara dihalalkan. Ini baru bicara soal nilai kejujuran, bagaimana dengan penerapan nilai-nilai karakter lain di sekolah-sekolah kita?
Inilah yang terus terjadi. Banyak sekolah mengajarkan pengetahuan dan keterampilan. Argumentasinya sederhana, dua hal ini mudah dihitung dan diukur tingkat pencapaiannya. Tapi tanpa karakter, apakah kebermaknaan dan kemuliaan hidup bisa dirasakan anak-anak kita?
Albert Einstein sudah mengingatkan, "Tidak semua yang dapat dihitung berharga. Dan tak semua yang berharga dapat dihitung". Karakter, hal berharga yang tak mudah dihitung. Justru di sanalah tantangan bagi sekolah untuk merancang program pendidikan yang fokus untuk membiasakan penerapan nilai-nilai baik dan meniscayakan terjadinya proses peneladanan dari guru-guru di sekolah.
Hanya karakterlah yang mampu mengantar anak-anak kita menemukan kebermaknaan hidup dan memuliakan kehidupan karena kehadiran mereka kelak tak jadi beban bagi masyarakat, justru memberikan efek kebermanfaatan untuk masyarakat. Jika hari ini sekolah hanya merasa bangga karena punya anak-anaknya yang punya kecerdasan semata tapi tak membina perilakunya, segeralah bertobat dan benahi sistem yang sudah ada.
Punya anak pintar itu baru satu hal. Yang penting, apakah kepintaran itu diraih melalui penerapan sifat baik atau sifat buruk. Membiarkan sifat buruk jadi keseharian di lingkungan sekolah, tak ada pembiasaan sifat baik, dan hilangnya figur teladan dari para guru, alih-alih sekolah jadi institusi berkarakter yang penuh wibawa, justru sekolah bisa jadi lembaga paling efektif dan efisien dalam merusak moral dan mental anak didik. Moral dan mental anak Indonesia tercinta.
Inti pendidikan karakter, yaitu butuh proses panjang, tak instan, dan tak pernah selesai. Tugas sekolah makin tak mudah karena mungkin saja pendidikan karakter tak tersemai di keluarga dan masyarakat.
Ketika karakter terpuruk, hal-hal benar disalahkan, hal-hal salah dibenarkan. Demi lahirnya generasi Indonesia yang paham makna hidup dan mampu memuliakan kehidupan, sekolah harus mulai menerapkan konsepsi pendidikan kompetensi berbasis karakter, bukan pendidikan berbasis kompetensi. Dan inilah perjuangan sekolah yang sesungguhnya di hari ini. Selamat berjuang.
Asep Sapa’at
Pemerhati Karakter Guru-Character Building Indonesia