Ahad 23 Mar 2014 11:01 WIB

Sekolah Hancurkan Karakter Siswa, Mungkinkah?

Red: Joko Sadewo
Asep Sapa’at
Foto: doc pribadi
Asep Sapa’at

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebuah kajiannya, Mochtar Buchori (2006) menyatakan ada tiga tugas kehidupan yang harus dipersiapkan pendidikan untuk para peserta didik. Pertama, agar peserta didik bisa menghidupi diri sendiri. Kedua, agar peserta didik dapat mengembangkan kehidupan yang bermakna. Ketiga, ini yang jarang diungkap, untuk memuliakan kehidupan.

Sekolah sebagai institusi penebar nilai kehidupan dalam ruang lingkup pendidikan formal, tentu punya amanah untuk mengantarkan peserta didik sukses dan hidup bermakna di masa depan. Untuk tujuan pertama, ternyata tak semua sekolah bisa menyiapkan peserta didik untuk menghidupi diri sendiri. Bila sarjana saja tak siap pakai, bagaimana lagi dengan hanya lulusan SMA dan jenjang pendidikan lebih rendah dari itu. Sampai hari ini sekolah masih terlalu sibuk dengan fungsinya yaitu transfer pengetahuan yang ternyata kebanyakan cuma wacana. Pengetahuan yang sekadar wacana, sulit bisa dijadikan alat mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri. Sebabnya jelas itu bukan keterampilan.

Tujuan kedua yaitu mengembangkan kehidupan yang bermakna, ini bicara kebaikan dalam wilayah karakter. Inilah yang tak banyak dibahas di sekolah. Kita tak pernah membicarakan soal makna hidup. Yang kerap diperbincangkan ialah soal kesuksesan hidup. Titik persoalannya, apakah setiap kesuksesan selalu mengantar kita ke kehidupan yang bermakna?

Menjadi presiden, menteri, anggota legislatif, pengusaha, profesor, misalnya, kita pandang sebagai suatu kesuksesan. Tetapi, apakah setiap kehidupan presiden, menteri, anggota legislatif merupakan kehidupan bermakna? Apakah setiap kehidupan pengusaha dan profesor yang mewakili simbol kelompok orang kaya dan orang pintar selalu merupakan kehidupan yang bermakna?