REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Hingga kini masih ada sekolah berbasis agama menolak untuk memenuhi hak peserta didik mendapatkan pelajaran agama yang dianutnya karena masih kuatnya ekslusivisme kelompok beragama, kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Machasin di Jakarta, Selasa.
Kenyataan ini menunjukan bahwa implementasi kebijakan pendidikan agama sesuai peraturan yang berlaku belum bisa berjalan maksimal, kata Machasin kepada pers ketika memaparkan hasil serangkaian pengembangan riset yang dilakukan lembaga yang dipimpinnya selama 2013.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan kegiatan penelitian (research) terkait dengan isu atau permasalahan yang relevan dengan pembangunan pendidikan agama dan keagamaan. Sementara kegiatan pengembangan (development) dilakukan dalam bentuk lokakarya (workshop), seminar, simposium, diskusi dan penyusunan konsep.
Hasil penelitian tersebut, kata Machasin, meliputi ruang lingkup: akses dan layanan pendidikan, eksistensi madrasah, pesantren dan penyelenggaraan pendidikan agama di tengah perubahan sosial. Pendidikan agama terkait radikalisme dan toleransi, dan multikulturalisme dan paham kebangsaan pada guru dan dosen.
Dari berbagai isu tersebut, lanjut dia, kasus penolakan beberapa sekolah berbasis agama untuk memenuhi hak peserta didik mendapat pelajaran agama sesuai agamanya mendapat perhatian serius.
Machasin yang didampingi Kapuslitbang Pendidikan agama dan Keagamaan Abd. Rahman Mas'ud, dengan sangat hati-hati menjelaskan bahwa kasus tersebut pernah terjadi di Blitar, Jawa Timur. Pada Januari 2013, media massa menyoroti lembaga pendidikan Katolik di kota Blitar. Lembaga pendidikan tersebut menolak memberi pelajaran agama non-Katolik kepada siswa agama lain.
Saat itu, cerita Machasin, data dari Dinas Pendidikan setempat jumlah siswa Katolik tidak dominan karena dari total 3.168 murid di enam sekolah hanya 22,5 persen atau 713 murid beragama Katolik. Selebihnya Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Pihak lembaga bersikeras tidak memberikan pelayanan pendidikan agama atau menyediakan guru agama non-Katolik.
Padahal, ia menjelaskan, menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan agama, dijelaskan bahwa apabila terdapat sedikitnya 15 persen peserta didik yang seagama dalam satu kelas maka sekolah wajib memberikan pendidikan agama kepada mereka di kelas.
Dalam laporan tahunan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ditegaskan, meski sekolah berciri agama, sekolah-sekolah Katolik itu bersifat terbuka, dan karenanya juga bisa menerima peserta didik bergama lain. Karena itu sangat "absurd", jika sekolah menolak menyediakan guru - atau menolak menolak menerima guru agama yang disediakan Kemendikbud atau Dinas Pendididkan setempat untuk memberi pelajaran agama sesuai agama murid.
Bersamaan dengan itu ia juga mengungkap bahwa kasus layanan pendidikan agama pada anak berkebutuhan khusus dan lembaga pendidikan anak usia dini, tingginya semangat masyarakat menyelenggarakan pendidikan belum diimbangi dengan ketersediaan tenaga pengajar dan bahan ajar yang tepat.
Mayoritas tenaga pengajar yang kini banyak memberikan pelajaran agama di sekolah anak kebutuhan khusus dan pendidikan anak usia dini, menurut dia, tidak berasal dari lulusan pendidikan tinggi agama, serta sangat minim pengalaman pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan tugasnya.
Arus globalisasi yang masuk wilayah pesantren salafiyah juga mendapat perhatian. Para kiai dan komunitas pesantren cenderung hati-hati tidak terbawa arus dan tetap mempertahankan jati diri pesantren salafiyah sebagai lembaga yang mengkonservasi nilai-nilai kaffah. Mereka melakukan perubahan sangat minimalis. Metoda belajarnya masih didominasi tradisi lama, seperti "bandongan" dan "sorongan".