REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus mulai memperhatikan pendidikan inklusi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab setiap anak Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan berkualitas, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, asal usul suku dan ras, latar belakang kelas sosial, termasuk kondisi tubuhnya.
“Negara tidak boleh diskriminatif terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Bukan hanya dalam layanan pendidikan, tapi juga layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi, transportasi, dan lain-lain,” kata Koordinator Network for Education Watch (NEW) Indonesia Abdul Waidl saat ditemui dalam acara bertajuk “Pendidikan Non Diskriminasi” pada Sabtu (10/5) di di Anjungan Kalimantan Timur (Kaltim) Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Acara Jambore Anak ini merupakan bagian dari rangkaian Pekan Aksi Global (Global Action Week) yang diselenggarakan di berbagai negara yang pada tahun 2014 ini mengambil tema “Pendidikan dan Disabilitas – Hak Setara Kesempatan Setara.
Sebanyak tiga ratus anak dari sepuluh Sekolah Dasar regular dan lima Sekolah Dasar Luar Biasa yang berprtisipasi dalam acara Jambore Anak ini. . Dalam kegiatan tersebut, anak-anak akan belajar untuk saling memahami melalui beragam permainan dan pertunjukan seni. Melalui kegiatan ini, NEW Indonesia juga ingin membangun kesadaran dari pihak orang tua dan anak, baik ABK maupun non ABK untuk bersama-sama mendukung pelaksanaan pendidikan tanpa diskriminasi.
Dijelaskan Waidl, Acara tersebut diselenggarakan sebagai bagian dari rangkaian kampanye pendidikan inklusi untuk anak-anak difabel. Selain itu, tindak lanjut kampanye akan berujung pada pengawalan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas.
Undang-undang tersebut mesti dikawal, sebab ia melihat selama ini perhatian pemerintah sangat rendah. “Buktinya, sampai saat ini ada empat sampai lima juta anak yang tuli tetapi negara tidak menyediakan satu persen pun tenaga pengajar berkualitas dan berkompeten,” katanya. Problem lainnya yang harus segera diselesaikan adalah kurikulum untuk anak difabel disusun oleh orang-orang non difabel, dengan cita cita orang non divabel dan yang mengajarnya pun dari kalangan non divabel.
Menurutnya, hal tersebut akan membuat ketidakcocokan yang berujung pada tidak tercapainya pendidikan ideal untuk ABK. Seharusnya, kata dia, orang-orang difabel lah yang diberi kesempatan untuk menyusun rancangan kurikulum, serta mengajari langsung akan-anak berkebutuhan khusus. “Karena mereka punya kesamaan dari segi bahasa ibu, dan itu akan lebih singkron,” tuturnya.
Sampai saat ini, kata Waidl, terdapat banyak kebijakan di bidang pendidikan yang kurang peduli terhadap latar belakang perbedaan siswa. Perbedaan belum dipandang sebagai potensi untuk membangun peradaban dan kebudayaan. Sebaliknya, perbedaan masih dianggap sebagai beban dan sekaligus menjadi dalih negara untuk terus melakukan diskriminasi.
Oleh karena itu, semua elemen bangsa Indonesia harus mendorong agar negara menjadi lebih kuat dalam menegakkan kesetaraan warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kita harus terus sosialisasi dan menyuarakan tentang kesetaraan hak setiap warga negara, termasuk suara untuk para penyandang disabilitas yang sampai sekarang masih menerima keterbatasan dan bahkan diskriminasi layanan dalam pendidikan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai bagian dari pendukung acara turut menyatakan, bahwa memang selama ini pendidikan untuk difabel masih mengalami beberapa masalah. “Hambatan di tingkat kultur juga masih terjadi, juga atensi pemerintah terhadap ABK masih minim,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto pada Sabtu (10/5).
Disamping itu, ketersediaan guru bagi ABK pun masih minim. Padahal, kata Susanto, butuh profesi khusus bagi mereka yang ingin menangani anak-anak tersebut. kekurangan-kekurangan tersebut perlu dievaluasi secepatnya. Negara terutama Menteri Pendidikan perlu melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran sekaligus atensi bagi penyelenggara pendidikan khusus,” lanjutnya.
Menyikapi permasalahan yang terjadi dalam pendidikan anak-anak difabel, KPAI punya program khusus yakni mengagendakan pendalaman kasus-kasus pada ABK. “Termasuk minggu lalu ada laporan yang masuk mengenai kekerasan yang dialami ABK di boarding school,” katanya. Dalam kasus tersebut, ada dugaan kekerasan yang dilakukan oleh penyelenggara sekolah.