Kamis 28 Aug 2014 20:52 WIB

Sekolah Swasta di Depok Gugat Nur Mahmudi

Rep: C60/ Red: Djibril Muhammad
Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail
Foto: Republika/Fachrul Ratzi
Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Sebanyak 58 yayasan sekolah swasta di Kota Depok akan mengambil langkah hukum karena merasa dirugikan oleh sikap Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Kota (Pemkot) Depok. Yayasan sekolah swasta ini akan menggugat Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail ke Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) pekan ini.

Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Depok, Kemo Santosa menyatakan, sekolah swasta kehilangan sekitar 3480 siswa yang seharusnya masuk ke sekolah swasta.

"Saat ini, 87 ruang kelas milik swasta kosong. Biasanya per kelas diisi 40 siswa," jelas ketua BMPS Kota Depok, Kemo Santosa, kepada Republika, Kamis (28/8).

Kerugian yayasan sekolah swasta, kata Kemo, diakibatkan oleh kebijakan Disdik Kota Depok yang membuka empat sekolah baru dan menambah kelas sekolah lama melebihi kapasitas yang ditetapkan kementerian pendidikan.

"Kami tidak menentang pendirian sekolah baru, kalau sarana dan prasarana sekolah itu sudah siap," ujar dia.

Namun, kata dia, empat sekolah yang didirikan tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai sebagai sebuah sekolah. Dia mencontohkan SMA 11 Depok yang numpang di SD Kemiri II, Depok.

Ratusan siswa SMA 11, kata dia, terpaksa harus bergantian kelas dengan SD dengan fasilitas yang tidak cukup. Selain itu kata dia, di pada Juni hingga Agustus awal, siswa SMA 10 Depok harus belajar sambil lesehan tanpa kursi dan meja.

"Dinas pendidikan terkesan memaksakan, bahkan mengorbankan siswa," ujar dia.

Tidak hanya itu, penambahan kelas dan sekolah juga dibarengi dengan indikasi suap dan pemerasan yang terjadi selama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ketua BPMS menyatakan akan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan ini.

Dia menyatakan telah memiliki bukti berupa kuitansi pembayaran untuk memuluskan penerimaan 'siswa titipan' melalui jalur optimalisasi.

Selain itu, menurut Kemo, pelanggaran Dinas Pendidikan Kota Depok lainnya, berupa penambahan jumlah kelas melebihi sembilan kelas dalam satu sekolah. Dan jumlah siswa dalam satu kelas yang lebih dari 40 orang.

Benar saja, saat Republika bertandang ke SMA 11 Depok, siswa SMA Depok terpaksa masuk sejak siang hari. "Karena kita numpang di gedung milik SD Kemiri," kata Dewi Novitasari.

Dia mengatakan, siswa Sekolah Dasar Kemiri II masuk sejak pagi dan keluar sekolah siang hari. setelah itu, di dan 124 siswa SMA 11 Depok bergantian menggunakan kelas.

Wakil Kepala Sekolah SMA 11 Depok, Ubaidillah juga membenarkan bahwa gedung yang disiapkan untuk SMA-nya masih dalam tahap renovasi. Dia juga menunjukkan ruang guru yang masih berupa ruang kelas yang tidak dipakai dan disekat papan.

Lebih dari itu, dia menyatakan, dana operasional sekolah yang baru berdiri beberapa bulan lalu belum diterima oleh sekolah. Walhasil, sekolah yang memiliki empat kelas ini menggunakan uang yang ada untuk kebutuhan operasiona.

"Mau tidak mau kita gunakan uang yang ada, atau meminjam dulu untuk sekedar beli spidol, kertas dan alat lain. Sekolah kan harus tetap jalan," ujar Ubaidillah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement