REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Depok mengaku tidak pernah menginginkan menggugat Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail ke Pengadilan Tinggi Urusan Negara (PTUN).
Namun, upaya audiensi yang telah dilakukan beberapa waktu lalu membuat dirinya tidak memiliki pilihan lain selain menempuh jalur hukum tersebut.
Dia mengklaim telah mendatangi Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Kota (Pemkot) Depok untuk mendiskusikan masalah PPDB. "Sekita dua minggu lalu, kami sudah datang dan menunggu hingga satu jam. Tapi tidak ada seorangpun yang mau nerima (kedatangan kami)," ujar Ketua BMPS Kota Depok, Kemo Santosa, kepada Republika, Kamis (28/8).
Dia mengaku lebih senang untuk menyelesaikan sengketa dengan cara kekeluargaan. Namun sayangnya, gayung tak bersambut, akhirnya dia dan rekan-rekannya memutuskan untuk menempuh jalur hukum.
"Kemungkinan minggu depan, laporan sudah dimasukkan ke Pengadilan. Tadi saya sudah tanda tangan surat kuasa kepada pengacara," ujar Kemo.
Dia menyatakan telah memiliki bukti berupa kuitansi pembayaran untuk memuluskan penerimaan 'siswa titipan' melalui jalur optimalisasi. Selain itu, menurut Kemo, pelanggaran Disdik Kota Depok lainnya, berupa penambahan jumlah kelas melebihi sembilan kelas dalam satu sekolah. Dan jumlah siswa dalam satu kelas yang lebih dari 40 orang.
Kerugian yayasan sekolah swasta, kata Kemo, diakibatkan oleh kebijakan Disdik Kota Depok yang membuka empat sekolah baru dan menambah kelas sekolah lama melebihi kapasitas yang ditetapkan kementerian pendidikan.
"Kami tidak menentang pendirian sekolah baru, kalau sarana dan prasarana sekolah itu sudah siap," ujar dia.
Namun, kata dia, empat sekolah yang didirikan tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai sebagai sebuah sekolah. Dia mencontohkan SMA 11 Depok yang numpang di SD Kemiri II, Depok.
Ratusan siswa SMA 11, kata dia, terpaksa harus bergantian kelas dengan SD dengan fasilitas yang tidak cukup. Selain itu kata dia, di pada Juni hingga Agustus awal, siswa SMA 10 Depok harus belajar sambil lesehan tanpa kursi dan meja.
"Dinas pendidikan terkesan memaksakan, bahkan mengorbankan siswa," ujar dia.
Tidak hanya itu, penambahan kelas dan sekolah juga dibarengi dengan indikasi suap dan pemerasan yang terjadi selama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).