Kamis 11 Sep 2014 17:40 WIB

Mencari Ilmu Dengan Ilmu, Praktik Ilmu Dengan..

Ilmuwan Muslim.
Foto: Metaexistence.org
Ilmuwan Muslim.

Oleh: Asep Sapa’at, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia

 

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR  -- Ketika banyak orang terpelajar lahir dari institusi sekolah dan kampus, apa yang bisa diharap masyarakat? Pasti tak ada yang mengharap lahirnya orang-orang pinter tapi keblinger. Orang berilmu tinggi tapi perilakunya amat buruk. Punya seabrek titel tapi tak kuasa taklukkan rasa sombongnya. Maka, terjadinya kasus FS di Yogyakarta dan KS di Bandung soal penghinaan di sosial media, seakan menohok ulu hati. Apa sebenarnya ilmu yang telah dipelajari orang-orang terpelajar?  

Ungkapan adat Melayu mengatakan, “Apabila bangsa hendak terbilang, anak muda-mudanya dijadikan tiang. Apa tanda bangsa bertuah, anak mudanya memegang amanah. Apa tanda bangsa terpuji, anak mudanya berpadu hati”. Untuk melahirkan anak muda yang amanah dan berpadu hati, mereka perlu diberikan bekal hidup. Maka, orangtua dan guru harus menunaikan tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Pendidikan yang baik kelak melahirkan anak-anak muda yang setara kualitas ilmu dan imannya.  

Bicara soal ke-ILMU-an, pepatah Melayu (Tenas Effendy) menyatakan, “Mencari ilmu dengan ilmu. Mempraktikkan ilmu dengan perilaku. Meluruskan ilmu dengan iman”.

Pertama, mencari ilmu dengan ilmu. Jika hendak ambil studi S2, kita musti lulus S1 dulu. Lulus S2, syarat perlu untuk melanjutkan studi ke S3. Sesuatu yang liniear. Ilmu yang satu menjadi dasar untuk mencari dan mengembangkan ilmu lainnya. Ilmu menjadi alat untuk meningkatkan kapasitas diri. Semakin giat belajar dan bertindak meningkatkan diri lewat penguasaan keilmuan, jadilah orang kompeten.

Kedua,  mempraktikkan ilmu dengan perilaku. Ilmu dan perilaku, dua hal berbeda. Maka, produk dari ilmu dan perilaku pun berbeda. Membangun rumah dengan ilmu (arsitek, teknik sipil, dsb), tapi membangun rumah tangga dengan perilaku (kasih sayang, setia, dsb).

Ilmu tentang kejujuran dipelajari di sekolah, tapi saat ujian, mengapa siswa mencontek dibiarkan? Kita pelajari soal kedisiplinan, tapi mengapa memulai jadwal kuliah tak pernah bisa tepat waktu? Dalam konteks pendidikan karakter, jika belum menjadi perilaku sehari-hari, maka sejumlah sifat baik (jujur, disiplin, tanggung jawab, dsb) baru menjadi ilmu tentang nilai-nilai baik saja. Sebaliknya, jika sifat baik sudah menjadi perilaku keseharian, itulah karakter. Esensinya, belajar dan bertindak memperbaiki perilaku diri, proses menjadi orang berkarakter.    

Yang patut dicermati, antara pintar dan perilaku, tak otomatis ada hubungan berbanding lurus. Soal kepintaran, kehebatan anak SD dan profesor itu ibarat bumi dan langit. Kalau pun ada pengecualian, si anak SD pasti punya keistimewaan. Tapi soal perilaku, apakah sudah pasti perilaku sang doktor lebih baik ketimbang anak SD? Belum tentu. Malahan, jika tak sanggup atasi arogansinya, sang doktor bisa kena penyakit ‘merasa pintar’.

Merasa pintar, itulah tabiat manusia. Jebakan paling mematikan karena kita tergoda untuk menganggap bodoh orang lain dan tak mau belajar dari kekeliruan diri sendiri. Sedangkan si anak SD, bisa saja dia punya sikap ‘pintar merasakan’. Karena dia merasa ilmu yang dimilikinya karena andil banyak pihak, alih-alih bersikap sombong, dia tak pelit ajarkan ilmunya kepada teman-temannya yang belum paham. Jika sang doktor seorang yang pintar juga rendah hati, cerdik cendekia juga santun, sudah gaharu cendana pula. Kompetensi dan karakter dikelola sama baiknya. Inilah sejatinya tugas pendidikan bagi anak-anak muda tunas bangsa.

 

Ketiga,  meluruskan ilmu dengan iman. Tanpa iman, ilmu bisa mencelakakan si pemilik ilmu dan orang lain. Alih-alih bermanfaat, ilmunya memiliki daya rusak pada orang lain. Ketika guru tak beriman, apa jadinya murid yang dihasilkan? Murid boleh jadi apa saja. Tetapi apa pun gelar dan profesi mereka kelak, pastikan semuanya beriman. Karena tanpa iman, mereka lakukan kesalahan tanpa sadar bahwa itu salah. Dengan iman, mereka pasti baik bagi semua pihak. Mereka sadar sepenuhnya, apa tujuan mencari ilmu? Ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup, utamanya menjadi sarana beribadah kepada Allah SWT, Tuhan Sang Pemilik Ilmu. Jika ilmu digunakan untuk korupsi, menipu, dan merusak tatanan nilai kehidupan, mungkinkah Tuhan ridho dengan ilmu yang kita miliki? 

Sudah bisa dipastikan, jika mencari ilmu tanpa iman dan ilmu dipraktikkan tanpa dilandasi perilaku baik, kasus-kasus yang mempertontonkan perangai buruk anak-anak muda bangsa akan terus terjadi dan terjadi lagi. Saatnya orangtua, guru, dan tokoh masyarakat merenung, sudahkah kita bisa jadi teladan bagi mereka? Karena tak ada anak berperangai buruk jika bukan karena orangtua dan lingkungannya.

Orang tua-tua Melayu mengatakan, “Elok manusia berbudi bahasa, elok insan kokoh beriman, elok orang berkasih sayang. Apabila hidup hendak selamat, dunia dicari akhirat diingat. Apabila hidup hendak sejahtera, ilmu dan iman sama setara”. Jika ditanya apa visi dan tujuan berkeluarga saja kita sudah tergagap jawabnya, apakah kita sudah yakin sekolah dan kampus punya kejelasan visi dalam mendidik anak bangsa? Wallahu a’lam

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement