Senin 22 Sep 2014 16:10 WIB

Senyum Buton Ceria (2-Habis)

Senyum Buton Ceria
Foto: Dok. Pribadi
Senyum Buton Ceria

REPUBLIKA.CO.ID, BUTON --  Alhamdulillah, kegiatan berjalan lancar. Anak-anak ceria dan bahagia mengikuti kegiatan demi kegiatan. Di samping itu, guru-guru dari semua sekolah mengaku terinspirasi untuk mengadakan kegiatan serupa.
 

Kegiatan usai namun donasi masih berlimpah. Kami sepakat untuk melaksanakan Buton Ceria di sekolah luar biasa. Alhamdulillah, keinginanku pribadi untuk bertemu dan berbagi keceriaan dengan anak-anak hebat tersebut terealisasi. Empat SLB kami sambangi, SDLB Tat Twan Asih, Yayasan Tat Twam Asih (SMPLB), SDLB Waborobo, dan Yayasan Waborobo (SMPLB) dengan total penerima manfaat 65 anak.

Ada hal yang berbeda ketika kami pertama kali bertemu dan bermain bersama anak-anak luar biasa itu. Jujur, kami canggung, merasakan grogi yang sangat. Padahal, selama kegiatan sebelumnya kami tidak pernah merasakannya.
Kami tidak memberikan treatment khusus ke mereka.

Kami menjalankan kegiatan Buton Ceria seperti biasa; mendongeng, gosok gigi bersama, dan outbond. Bedanya, kami hanya memberikan permainan yang mudah. Kegiatan minum susu bersama kami tiadakan, karena anak-anak hebat itu tidak bisa diberikan makanan sembarang. Sebagai penggantinya, kami membagikan souvenir lunch box pada mereka.

Bukan hanya keceriaan yang membersamai, namun haru juga datang menyelimuti kegiatan kami di empat SLB itu. Terlebih ketika kami melaksanakan kegiatan di SLB Waborobo. Di sana ada siswa yang memiliki prestasi menyanyi tingkat nasional. Faisal namanya. Aku meminta Faisal untuk bernyanyi, kebetulan saat itu tepat ia berulang tahun.

Dengan penuh percaya diri, Faisal menyanyikan lagu “Jangan Menyerah” milik D’Masiv. Aku yang saat itu memegangkan mikrofon untuknya langsung mundur, dan menyerahkannya kepada kepala sekolah. Rasa haru tak tertahan lagi, dan air mata tak terasa membasahi pipi. Bagaiamana Faisal dan anak-anak lainnya bisa setegar itu menerima segalanya, sedang aku yang diberi fisik sempurna saja sering merasa masih banyak kekurangan.

Di tempat yang sama aku juga bertemu Oi, begitu nama panggilannya. Anak down syndrome ini menarik perhatianku. Ia selalu bersamaku dan mengajakku berbincang. Ada lagi anak autis yang aku lupa namanya. Ia selalu manja denganku hingga tertidur di pangkuanku.

Ya Allah, aku bersyukur atas apa yang kumiliki, dan aku menyayangi mereka.
 
Masih ada keseruan lainnya: donasi masih tersisa. Esok harinya setelah kami melaksanakan Buton Ceria di SLB Waborobo, kami ke Panti Asuhan Muslimin yang ada di Baus dengan penerima manfaat 32 anak. Kegiatan di panti asuhan ini berbeda dengan kegiatan Buton Ceria sebelumnya.

Anak-anak panti sudah menginjak remaja, sehingga kegiatan mendongeng kami ganti dengan training motivasi remaja dan outbond. Menurut keterangan ketua yayasan, kegiatan semacam ini belum pernah dilaksanakan di panti. Di panti kami membagikan susu dan souvenir alat-alat tulis sekolah. Kegiatan berlangsung selama 2,5 jam. Lagi dan lagi aku bersyukur atas anugerah dan nikmat yang Engkau berikan, ya Rabb.

Alhamdulillah, sisa donasi masih berlebih. Kami sepakat untuk menyerahkannya kepada Panti Asuhan Muslimin, sebagian lagi untuk membuatkan papan nama sekolah MIS Nafi’u. Semua kegiatan terealisasi dan berjalan lancar bahkan melebihi target, baik target donasi maupun target jumlah sasaran kegiatan. Yang rencana awal hanya dilaksanakan di 7 sekolah saja, menjadi 7 sekolah, 4 SLB, dan 1 panti asuhan. Jumlah penerima manfaat pun sebanyak 713 dari rencana awal yang hanya 500.

Banyak lika-liku dalam menjalankan kegiatan Buton Ceria ini, dari perjuangan mencari dana hingga riak-riak percekcokan di antara anggota tim. Bagi aku sendiri, kegiatan ini mengajariku untuk meredam dan menurunkan ego dan masalah pribadi. Semuanya demi kesuksesan bersama tim.

Selain itu, aku belajar bersyukur, belajar untuk terus berbagi, belajar untuk terus bermanfaat, serta tentu saja belajar kreatif mencari dan mengumpulkan dana. Buton Ceria juga mengajarkan aku arti sebuah persahabatan. Mengajarkan aku untuk mengalah dan meredam egoku. Mengajarkan aku sebuah profesionalisme saat bekerja.

Kegiatan ini memang sederhana, namun mengajarkan aku banyak hal.
 

Penulis :

Agoeng Indri Puspita Lestari

Relawan Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa.  Alumnus Universitas Negeri Jakarta ini bertugas di MIN Lasalimu,  Lasalimu - Buton – Sulawesi Tenggara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement