REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Center for Human and Suistainable Development Goals Universitas Andalas Elfindri mengatakan, anak-anak difabel dari keluarga miskin lebih cepat putus sekolah dari pada anak dari keluarga kaya.
"Makanya kami berusaha keras agar anak-anak difabel dari keluarga miskin ini bisa tetap bersekolah. Salah satunya dengan memberikan tempat tinggal berupa asrama di sekolah," kata Elfindri, di Jakarta, Selasa, (23/9).
Dengan mengembangkan asrama di sekolah inklusif atau SLB, ujar Elfindri, maka angka partisipasi sekolah anak difabel bisa meningkat. Sebab Anak yang rumahnya jauh dari sekolah tidak perlu diantar jemput orang tuanya.
Bagi daerah terpencil yang SLB tidak ada, terang Elfindri, maka sekolah umum harus diubah menjadi sekolah inklusif sehingga anak-anak difabel bisa ikut bersekolah.
"Saya mendorong agar para kepala sekolah menerima anak difabel menyediakan pendidikan inklusif sebab sekolah SLB jauh lebih sedikit dari pada sekolah umum," terangnya.
Selain itu, kata Elfindri, dalam pendidikan anak difabel tidak perlu semua proses belajar mengajar diharuskan mencapai pemahaman kognitif. Untuk anak-anak yang susah mencapai pemahaman kognitif mereka disediakan berbagai jenis ketrampilan untuk dipelajari.
Makanya, ujar Elfindri, setiap sekolah SLB atau inklusif harus menyediakan jenis peralatan untuk bekerja maupun bengkel kerja. Sehingga anak-anak ini bisa diasah ketrampilannya.
Di Thailand, terang Elfindri, sebanyak dua persen angkatan kerja harus diisi oleh kaum difabel. Sehingga pada pekerjaan formal maupun informal terdapat kursi khusus difabel.
Perjuangan di Indonesia untuk memberikan kursi khusus bagi difabel di angkatan kerja menjadi dua persen masih membutuhkan perjuangan panjang. "Makanya pemerintah harus memberikan kepastian bagi difabel yang sudah mendapat pendidikan untuk mendapat pekerjaan di pemerintah atau swasta," kata Elfindri.