REPUBLIKA.CO.ID, WAY KANAN -- “Allahu Akbar, Allahu Akbar....”
Suara azan Shalat Ashar terdengar begitu jelas di telinga. Saya bergegas melepas sejenak kesibukan. Mengambil air wudhu kemudian ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Masjid di Gajah Sakti, Way Kanan (Lampung) lokasinya tidak begitu jauh dari kediaman saya. Namun, masjid ini kekurangan jamaah. Sepi, hanya ada dua-tiga orang yang shalat berjamaah. Kesadaran betapa pentingnya ilmu agama, terutama keutamaan shalat berjamaah, sangat rendah.
Penghasilan utama warga Gajah Sakti adalah petani, tepatnya petani karet, kopi, dan cokelat. Setiap hari mereka bangun sebelum subuh, lalu berangkat ke kebun masing-masing sampai menjelang zuhur. Pada waktu sore, mereka kembali ke kebun sampai menjelang maghrib tiba. Seperti inilah kesibukan mereka, sangat sedikit yang ketika mendengar suara azan berkumandang langsung bergegas ke masjid.
Suatu ketika saya berangkat ke masjid guna menunaikan Shalat Isya. Di perjalanan saya temui bapak-bapak yang tengah asyik mengobrol. Saya memang sengaja melewati tempat itu agar bisa menyapa mereka.
“Bapak, shalat dulu, Pak.” Sapa saya tanpa lupa memberikan senyum. “Ya, Pak, duluan saja.” Jawab seorang bapak seraya membalas senyuman saya. Seolah tidak mau kalah, teman berbincangnya juga menyusul menjawab. “Monggo, Pak, saya nitip ya.”
Saya cuma bisa tersenyum mendengar jawaban bapak-bapak itu. Titip shalat? Seolah mau pesan bakso saja, gumamku.
Seperti itulah kondisi warga Gajah Sakti. Mereka sebenarnya sangat baik, penolong, dan beretos kerja yang tinggi. Saya berdoa dalam setiap sujud agar Allah senantiasa memberikan hidayah kepada mereka agar mau menunaikan ibadah shalat lima waktu.
Hampir setiap berangkat menuju masjid saya selalu mendapati bapak-bapak dan para pemuda yang masih larut dengan kegiatannya masing-masing. Begitu berpapasan, saya selalu menyapa dan mengajak orang yang saya temui ke masjid. Namun setiap kali mengajak mereka, mereka masih enggan untuk bergegas menunaikan shalat.
Meskipun belum membuahkan hasil, saya tidak pernah berputus asa dan selalu mengharap bahwa Allah akan selalu memberikan hidayah dan petunjuk. Alhamdulillah, setelah sekian waktu lamanya, jamaah shalat di masjid mulai bertambah. Walau sebatas saat Shalat Maghrib dan Isya, saya tetap bersyukur. Bagaimanapun ini kemajuan luar biasa. Ketika Allah sudah memberikan hidayah kepada hati hamba-hamba-Nya, tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya.
Melihat hari demi hari jamaah bertambah, sesekali saya diminta menjadi imam shalat. Dikarenakan masih ada pemuka agama di sana, saya lebih memilih menjadi makmum. Namun, permintaan mereka tidak kuasa saya tolak akhirnya, karena setiap shalat saya terus diminta menjadi imam. Bukan sekali diminta, tapi rutin setiap shalat. Dengan mengucap basmalah, saya terima amanah warga.
Pada suatu malam, saya berbincang bersama Ketua Karang Taruna.
“Bapaknya Pak Taufik haji ya?” tanya beliau.
“Ya,” jawab saya singkat.
“Pantas saja, bacaan shalat Pak Taufik bagus banget, fasih.”
“Ah ndak juga, masih banyak kok yang lebih baik dan fasih bacaannya daripada saya. Sampeyan berlebihan,” jawab saya sambil senyum.
“Ndak, bacaan Alquran Pak Taufik memang bagus.”
Saya cuma menjawab dengan senyum.
Lain lagi kejadian suatu siang. Di sini setiap Jumat siang warga—khususnya yang ibu-ibu—memiliki kegiatan rutin yasinan. Hari itu kali keempat saya mengikuti yasinan. Di tengah obrolan bersama tokoh masyarakat, saya tiba-tiba diminta memberikan tausiyah selama 10-15 menit. Kata warga yang meminta saya, agar ada oleh-oleh yang didapat selain membaca Yasin.
Alhamdulillah, walau mendadak diminta, saya masih bisa menyampaikan pesan Allah ke jamaah. Saya sangat paham, di dusun tempat saya mengabdi sekarang, siraman rohani, tausiyah, nasihat, taklim, atau apa pun namanya, hampir tidak pernah ada. Itulah mengapa mereka merasa ‘kehausan’. Saya bersyukur menginjakkan kaki di sekolah penempatan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Saya dikelilingi oleh orang-orang yang sangat baik, memiliki etos kerja yang tinggi. Bersyukur juga bisa berbagi ilmu bersama warga setempat, yang tentunya memacu saya untuk selalu menjadi lebih baik. Semua ini saya pandang sebagai peluang; peluang untuk maju menempa diri selaku pendidik.
Penulis:
Taufik Abdulah
Relawan Sekolah Guru Indonesia yang bertugas di SDN 3 Tajung Kurun, Way Kanan, Lampung