REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Teuku Ramli Zakaria mengatakan, kecurangan dalam UN terjadi karena adanya budaya seratus persen lulus. Budaya ini berawal sejak adanya EBTA, bahkan sekolah yang jelek pun siswanya harus lulus seratus persen.
"Semua siswa lulus mendapat Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Jadi semua sekolah mendorong lulus seratus persen sehingga jadilah budaya itu,"ujarnya, di Jakarta, Kamis, (27/11).
Oleh karena itu sekarang semua anak yang sekolah jadi ingin lulus seratus persen. Makanya mereka mencari berbagai macam cara agar lulus, bahkan kalau tidak lulus ibarat dunia akan berakhir.
Apalagi, lanjut Teuku, sejak otonomi daerah dilakukan, pemerintah daerah menjadikan kesuksesan dalam UN sebagai indikator kinerja pemda yang baik.
"Yang lebih ekstrem kepala daerah bahkan memerintahkan agar semua siswa di daerahnya lulus UN, itu yang menyebabkan terjadi kecurangan massif dalam UN," katanya.
Sementara itu, Guru SMKN Bisnis dan Menajemen 8, Jakarta, Dini Suhartin mengatakan, tidak masalah jika UN dievaluasi. Namun sebaiknya UN jangan dihapus.
"UN merupakan tolak ukur untuk mengevaluasi hasil pendidikan anak-anak. Kalau UN dihapus bagaimana melihat hasil pendidikan anak-anak," kata Dini.
UN, lanjutnya, bisa digunakan sebagai pemetaan saja, bukan sebagai syarat kelulusan. Memang terkadang ada anak yang pintar namun gara-gara sakit atau sedang terkena masalah akhirnya nilai UN-nya jeblok sehingga tidak lulus.
"Kasihan jika ada anak-anak semacam itu tidak lulus hanya karena gagal UN. Jadi kami lebih senang kalau UN digunakan sebagai pemetaan," ujar Dini.
Apalagi anak-anak di Papua tentu saja pencapaian pendidikannya beda dengan anak-anak di Jakarta. Kasihan mereka kalau harus disamaratakan dengan UN sebab fasilitas pendidikan di Papua jauh lebih tertinggal.