REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut analisa Ketua Majelis Dikdasmen Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof Baedhowi, tujuan dari wacana revisi doa di sekolah agar tidak mencirikan suatu agama tertentu, dinilai akan menggiring anak atau siswa pada paham sekulerisme (memisahkan urusan duniawi dan agama/red.).
Kendatipun dalam wacana tersebut disebutkan siswa tetap bisa berdoa menurut agamanya masing-masing. "Bahkan dari sekulerisme lama-lama bisa menghilangkan. Tradisi yang sudah berjalan biarlah berjalan selama tidak mengganggu," kata Baedhowi kepada ROL, Jumat (12/12).
Karena, lanjut Baedhowi, perihal tradisi doa khususnya untuk siswa Muslim misalnya, memang sebagai bentuk pendidikan agama bagi anak. Sedangkan bila ada non Muslim di dalamnya menjadi minoritas, maka menurut dia itu menjadi risiko yang bersangkutan selama dirinya tidak dipaksa mengikuti cara berdoa Muslim.
"Ini juga berlaku bagi siswa Muslim yang menjadi minoritas di suatu sekolah," katanya.
Ditambahkan dia, apabila pemerintah memang menekankan pendidikan akhlak, seyogianya tidak perlu ada wacana revisi Tatib doa di sekolah. "Kan katanya mau menekankan pendidikan akhlak, kalau menurut guru-guru Muslim, cara berdoa bagi Muslim lebih baik seperti tradisi saat ini, maka tidak perlu dipertentangkan," katanya lagi.
Sebelumnya dia juga mengatakan, aturan terkait telah diatur seperti dalam UU Sisdiknas bahwa cara berdoa siswa dibebaskan sesuai mayoritas agama siswa atau kebijakan teknis di suatu sekolah. Santi-CR05